• BALIKU

    BALIKU

    Pulau Bali atau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini sungguh luar biasa pesona keindahannya juga kekayaan budayanya yang masih sangat kental yang melekat pada penduduknya. Tidak heran kalau Pulau Bali sangat terkenal di dunia

    Read More
  • SENI & BUDAYA BALI

    SENI DAN BUDAYA

    Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak amat digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali

    Read More
  • CERITA RAKYAT BALI

    CERITA RAKYAT BALI

    Kumpulan kisah dan legenda masyarakat Bali

    Read More
  • KULINER KHAS BALI

    KULINER KHAS BALI

    Cita rasa dan penampilan masakan Bali sering disebut seeksotis pemandangan pulau dewata itu. Jadi, tak heran jika sejumlah masakan khas Bali pun ikut menjadi ikon pariwisata

    Read More
  • KEUNIKAN BALI

    KEUNIKAN BALI

    Bali memiliki sejuta keunikan, baik bentangan alam maupun budayanya. Salah satu keunikan yang paling kuat adalah corak budayanya yang melekat pada seluruh aspek kehidupan msyarakat Bali

    Read More

Rabu, 06 Juni 2012

Tradisi Gebug Ende


Tari Gebug Ende yang Masih Dipertahankan



Sebagai daerah wisata populer sudah sepantasnya kalau bali digempur dari sana-sini soal budaya karena sejatinya yang datang ke Bali bukan hanya turis nasional saja, melainkan turis asing dari berbagai macam suku dan bangsa yang memiliki karakter, adat-istiadat, dan kebudayaan yang berbeda. Meski demikian, yang patut diacungi jempol dari Bali karena meski gempuran modernitas begitu masif menerjang namun mayoritas masyarakatnya tak sedikitpun melupakan akar sejarah dan tradisi nenek moyangnya yang sudah sewajibnya dipertahankan sampai kapanpun.
Salah satunya ialah Tari Gebug Ende. Apa itu Gebug Ende? Secara gerakan, tarian ini memiliki gerakan yang hampir sama dengan gerakan silat namun yang membedakannya ialah pada sarana yang digunakannya. Tarian Gebug Ende menggunakan Tamiang (Perisai) yang terbuat dari kulit sapi dan rotan sebagai alat pemukulnya. Atraksi tarian ini tak ubahnya seperti perang tanding yang saling berbalas pukulan diantara pesertanya.

Istilah Gebug Ende ini juga dikenal dengan Gebug Seraya didasarkan pada daerah dimana kesenian ini berasal. Gebug Ende ini hanya dimainkan oleh para pria dewasa maupun anak-anak. Soal asal kata, Gebug Ende sendiri berasal dari kata ”Gebug” dan “Ende”. Gebug artinya memukul dimana alat pemukulnya berupa rotan yang panjang sampai sekitar 1,5 – 2 meter. Sedangkan alat yang digunakan untuk menangkisnya bernama Ende.
Ende ini dibuat dari kulit sapi yang telah dikeringkan yang kemudian dianyam berbentuk lingkaran. Diceritakan Jaman dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan, jiwa dan semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini. Disesuaikan perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun temurun dapat kita saksikan hingga kini.

Areal Pertunjukkan

Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar. Tidak ada ukuran yang pasti untuk  menentukan areal ini disesuaikan dengan kondisi areal saja. Sementara untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan pun dibatasi dengan pembatasa yakni tali. Para Juru Banten pun melakukan ritual permohonan berkat agar permainan Gebug Ende ini dapat memberikan keberhasilan dan kemakmuran bagi Krama Seraya.

Tarian ini biasa digelar di beberapa desa di Kecamatan Gerokgak.

Senin, 04 Juni 2012

Desa Tradisional Kapal


Tradisi Perang Tipat-Bantal



Desa Kapal adalah salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya, desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mengwi Badung-Bali ini memiliki berbagai tradisi unik dan menarik yang masih bertahan sampai sekarang, salah satunya adalah pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Tradisi Perang Tipat-Bantal.

Tradisi ini terkait erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, di mana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih Kapat) sekitar bulan September - Oktober.
pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang Tipat-Bantal. Tipat / ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Predhana
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Dalam tradisi ini masyarakat Kapal berkumpul di depan Pura Desa setempat dimana kemudian mereka membagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok tersedia tipat dan bantal sebagai senjata, kemudian kedua kelompok ini saling melempari kelompok yang lain dengan tipat dan bantal ini.

Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini memiliki kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol.
Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi / Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya.

Keberadaan tradisi Perang Tipat â € "Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar-lontar, salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini ada dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut:
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Bali menggantikan kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan memiliki seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada waktu itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.

Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat ketika itu, desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas kondisi ini kemudian Ki Kebo Iwa meminta jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melakukan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare angon dengan sarana menghaturkan tipat - bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana / Energi Feminisme / Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehinggga desa ini makmur dan tentram.

Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar (sekarang dikenal dengan nama Bedulu), sampai akhirnya kemudian Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun Isaka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat â € "Bantal ini di Desa Kapal (+ 666 tahun), salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan dan sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehiduan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini.

Di tengah berbagai krisis global yang terjadi, mulai dari isu pemanasan global sampai krisis pangan di berbagai belahan bumi, tradisi â € "tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita tentang kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan semesta

Minggu, 03 Juni 2012

Rahinan (Anggara Wage Sinta)

Sabuh Mas




Bagi saya setiap kali mendengar kata Sabuh Mas, pikiran saya mengartikan kepada sesuatu yang serba gemerlap. Sabuh Mas, pasti ada hubungannya dengan kemewahan!

Ternyata pengartian saya itu hampir mendekati kebenaran. Memang rahinan Sabuh Mas ini adalah hari suci untuk mengadakan asuci laksana dan Widhi widana kepada Hyang Widhi dalam kedudukannya sebagai Sang Hyang Mahadewa yang telah melimpahkan anugrahnya berupa raja bejana yakni harta kekayaan yang disimbulkan dengan logam-logam mulia dan manik permata.

Hyang Widhi telah melimpahkan segala macam anugrahNya melalui ciptaanNya. Dan umat Hindu Dharma mensyukurinya dengan jalan melakukan Widhi widana kepada Hyang Widhi dan segala manifestasinya pada hari-hari suci yang bersangkutan.

Untuk beras dan padi ada Soma Ribek dan untuk harta kekayaan yang berhubungan dengan kemewahan ada Sabuh Mas. Anugrah yang diperoleh manusia tersebut tak lain bersumber dari ilmu pengetahuan yang telah dicerna oleh manusia. Sabuh Mas ini juga merupakan jaringan perayaan suci Saraswati yang jatuh di hari ketiga setelah rahinan Saraswati yakni Selasa-Kliwon-Sinta.

Manusia diberiNya kemampuan untuk berpikir bagaimana untuk bisa mengolah, meracik dan mengusahakan sesuatu untuk kebaikannya melalui pengetahuan yang dipelajarinya. Dari kemampuan ini, manusia bisa menciptakan kemakmuran dan kesejahteraannya. Mereka bisa mengatasi rasa laparnya, mampu melindungi dirinya dan menyejahterakan dirinya melalui usaha dan kerja mereka.

Meskipun manusia itu telah berusaha sendiri, bekerja dengan tangan dan tenaganya sendiri, namun janganlah kita merasa sombong karena merasa sudah berhasil. Sesukses-suksesnya kita mampu bekerja mengusahakan kekayaan kita, tetap saja kita harus selalu ingat bahwa berkat dan anugrah yang kita peroleh bersumber dari Hyang Widhi. Ia adalah sumber segala-galanya. Kita tidak bisa terikat akan apa yang telah kita hasilkan selama bekerja dan berusaha. Kita harus menyeimbangkannya dengan rajin membantu fakir miskin (dana punia kepada yang benar-benar membutuhkannya), tidak pelit dan sombong.

Di hari Sabuh Mas ini, umat Hindhu Bali diingatkan untuk tetap eling terhadap segala harta kekayaan yang dimilikinya. Eling disini berarti intropeksi diri melalui perenungan diri agar kita bisa mengolah harta kekayaan yang kita miliki dengan baik. Mengaturnya dengan bijaksana tidak hanya demi kepentingan sendiri saja namun juga bisa membantu orang-orang miskin untuk berbagi kebahagiaan. Kita harus sadar bahwa segalanya itu tidak kekal, dan harta kekayaan adalah bukan segalanya. Kita harus belajar untuk tidak terikat oleh harta, belajar iklas untuk saling berbagi dengan yang lainnya baik itu dengan keluarga dan orang-orang yang sangat membutuhkan melalui medana-punia. Di hari ini umat melaksanakan pemujaan untuk mencurahkan rasa puji syukur kepada Hyang Widhi dan mendekatkan diri kepadaNya.

Ritual dan Upakara

Pada hari Sabuh Mas dilakukan pemujaan kepada Betara Mahadewa, sebagai penguasa segala kekayaan berupa mas manik dan mutu manikan.

Adapun pelaksanaannya adalah dengan menghaturkan upakara suci Daksina, peras penyeneng, sesayut merta sari, canang lenga wangi Burat wangi, pabersihan pasucian pangreresik pada harta benda yang berupa mas, mirah, permata dan yang sejenisnya. Setelah upakaranya dihaturkan, kemudian upakara tersebut diayab oleh semua keluarga, dengan tujuan memuliakan segala tingkah laku dan kepribadian agar menjadi lebih baik dan agar penghargaan berupa harta yang didapat bisa mebrguna dan bermanfaat untuk orang banyak.

Rahinan (Redite Pahing Sinta)

Banyu Pinaruh






Apa artinya Banyu Pinaruh?

Banyu Pinaruh adalah air ilmu pengetahuan. Pada hari ini umat Hindu Dharma melaksanakan asuci laksana dengan jalan membersihkkan diri di laut atau di sungai di pagi hari, tepatnya lagi disaat matahari terbit. Setelah mandi di laut atau di sungai, umat berkeramas memakai air kumkuman yakni air yang berisi berbagai jenis bunga-bunga segar dan harum. Setelah itu umat mempersembahkan sesajen berupa labaan nasi kuning dan loloh di Merajan, setelah menghaturkannya, kemudian diakhiri dengan nunas lungsuran .

Apa makna filosfisinya dari ritual ini?

Banyu Pinaruh adalah hari dimana umat Hindu Dharma melaksanakan penyucian lahir dan batin. Mereka membawa sarana upakara berupa canang dan dupa untuk memohon punyucian lahir batin kepada Hyang Widhi agar segala kekotoran dilebur dan olehNya diberikan kesucian pikiran, jiwa dan raga.

Selain itu Banyu Pinaruh merupakan hari pertama di tahun baru Pawukon. Tahun yang perputarannya terdiri dari 210 hari yang diawali dengan wuku Sinta ini, ditandai dengan hari suci Banyu Pinaruh. Di hari ini, di saat matahari terbit, umat Hindu Dharma memuja kebesaranNya, memohon perlindungan dan kesucian jiwa raganya. Mereka melebur keletahan selama setahun kalender Bali di laut, di sungai, atau di danau, agar mereka memperoleh kekuatan untuk melangkah menyongsong hari-hari berikutnya dengan bijak.

Pernah disaat akan melaksanakan Banyu Pinaruh di Jerman, dan pas disaat itu musim dingin. Sungai di dekat rumah saya dipenuhi oleh balok-balok es dan salju. Waduh ... bisa kan membayangkan betapa konyolnya saya kalau saya bersikeras ingin mandi di sungai Elbe. Yang ada saya pasti membeku! Dari situasi seperti ini, saya pun sempat memikirkan bagaimana cara umat melaksanakan Banyu Pinaruh kalau di dekat tempat tinggal mereka tidak ada sungai, laut atau danau? Apa yang mereka lakukan?

Saya tanya sana-sini, ya maksudnya biar tahu dan saya ngga ngawur dan sok tahu. Akhirnya saya simpulkan kalau di tempat kita tinggal jauh dari laut, sungai atau danau, atau pas cuaca / iklim tidak mengizinkan, maka Banyu Pinaruh bisa dilakukan di rumah saja, dengan mandi yang bersih. Sebelum mandi kita nunas kehadapan Hyang Widhi untuk diberikan kesucian lahir dan batin.

Setelah ritual pembersihan selesai, kemudian kita keramas dengan memakai air kum-kuman , yakni air yang berisi berbagai bunga-bunga harum. Ritual ini menyimbulkan kesucian jiwa dan raga, agar harum laksana wewangin bunga, dan adem menyejukkan seperti air.

Mandi di laut adalah untuk melebur kekotoran, yang kemudian dilanjutkan dengan keramas dan mesiram dengan air kumkuman adalah untuk menyucikan lahir dan batin.

Setelah kita selesai, kita ngga bisa mandi atau membilas badan kita. Cukup berganti pakaian bersih, dan melaksanakan persembahyangan di Padmasana dan Merajan atau plangkiran bila tidak ada pelinggih tersebut. Kita menghaturkan labaan kuning dan loloh , untuk kemudian disurud bersama ketika kita sudah selesai menghaturkannya.

Tahun Baru Pawukon - Mengawali awal perputaran tahun Pawukon melalui ritual Banyu Pinaruh.

Nama-nama wuku tersebut adalah:

1.Sinta 11.Dunggulan 21.Matal

2.Landep 12.Kuningan 22.Uye

3.Ukir 13.Langkir 23.Menail

4.Kulantir 14.Medangsia 24.Perangbakat

5.Tolu 15.Pujut 25.Bala

6.Gumbreg 16.Pahang 26.Ugu

7.Wariga 17.Krulut 27.Wayang

8.Warigadean 18.Merakih 28. Kulawu

9.Julungwangi 19.Tambir 29.Dukut

10.Sungsang 20.Medangsia 30.Watugunung

Dalam 1 tahun ada 30 wuku, dan setiap wuku terdiri dari 7 hari. Jadi satu tahun Pawukon terdiri dari 210 hari.

Diatas kita bisa melihat bahwa wuku pertama dalam satu putaran tahun adalah wuku Sinta, wuku ini diawali dengan hari Minggu - Pahing, yang dikenal dengan Banyu Pinaruh. Jadi ternyata hari suci Banyu Pinaruh itu adalah awal sebuah tahun baru, dan Saraswati adalah akhir tahun! Karena Saraswati jatuh pada hari Sabtu di wuku Watugunung.

Rahinan (Soma Pon Sinta)


Some ribek

Hari kedua setelah perayaan Saraswati dikenal dengan Soma Ribek, yang jatuh pada hari Senin-Pon-Sinta dimana umat Hindu Dharma melakukan Widhi widana atau pemujaan kepada Sanghyang Tri Pramana yaitu Dewi Sri, Sadhana dan Dewi Saraswati dengan menghaturkan upakara di lumbung dan di pulu (tempat beras).

Makna dari hari suci Soma Ribek adalah hari suci untuk mensyukuri turunnya kemakmuran yang berupa padi dan beras pada khususnya dan pangan pada umumnya.

Mengapa pada Soma Ribek kemakmuran diidentikan dengan padi dan beras?

Kalau saya jalan-jalan ke desa-desa, masih saya bisa melihat hamparan sawah yang menyejukkan mata dan jiwa. Padi berpetak-petak di dinding-dinding bukit sampai ke dataran bagaikan tangga mosaik raksasa. Meskipun lokasi pertanian padi sudah semakin berkurang namun syukurnya masih ada tempat-tempat hijau penghasil beras seperti di Jati Luwih, di Seraya, dan sebagain lagi terpencar di desa-desa agraris di Bali.

Saya membayangkan bagaimana indahnya negeri ini di zaman dulu sebelum negeri ini lambat laun berubah menjadi negeri pabrik dan industri seperti sekarang ini. Negeri Indonesia adalah bekas negara agraris, dimana penduduknya mayoritas adalah petani. Begitu juga di Bali! Sampai sekarang masih tersisa bekas-bekasnya berupa sisa-sisa sawah yang mudah-mudahan bisa lestari.

Dari hasil renungan, saya yakin pasti hari suci Soma Ribek telah ditentukan oleh para Leluhur orang Bali berdasarkan pemikiran dan pertimbangan luhur sebagai wujud rasa terimakasih mereka atas kemakmuran yang mereka terima dari hasil panen mereka. Mereka sebagian besar adalah petani. Tentunya kehidupan mereka sangat tergantung dari hasil panen dimana padi adalah produk panen utama mereka. Sebagai wujud rasa terimakasih, mereka menghaturkan upakara kepada Hyang Widhi, mengungkapkan rasa bakti mereka melalui hari suci Soma Ribek, yang diyakini sebagai hari beryoganya Sang Hyang Tri Murti. Ritual ini kemudian menjadi tradisi turun temurun sampai sekarang pun kita orang Bali masih terus melaksanakan rahinan Soma Ribek.

Soma Ribek merupakan jaringan hari raya yang erat hubungannya dengan Saraswati. Lalu apa hubungannya ilmu pengetahuan dengan kemakmuran?

Ilmu pengetahuan itu sumber kemakmuran. Tanpa pengetahuan kita akan menjadi bodoh, dari kebodohan kita akan sengsara. Sebaliknya kalau kita dibekali oleh pengetahuan yang bajik dan bijak, kita menjadi cerdas dan pintar, kita bisa mengolah dan meracik sesuatu menjadi hal yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain.

Tak beda dengan para petani, tanpa dibekali oleh pengetahuan yang cukup, mereka tidak akan menghasilkan panen yang maksimal. Maka dari itu berawal dari hari pemujaan Saraswati, umat Hindu Bali, kemudian melaksanakan penyucian dirinya untuk kemudian mensyukuri kemakmuran yang mereka terima dari Hyang Widhi.

Ritual dan Upakara

Adapun upakara yang dihaturkan adalah nyahnyah, grinsing, geti-geti, pisang mas dan wewangian, dilengkapi dengan canang, dupa dan Tirtha, sebagai tanda syukur atas wara nugraha yang berupa amerta (pangan). Kita memohon agar Hyang Widhi selalu memberikan kesuburan bumi dan kemakmuran kepada semua mahluk. Pada hari ini umat Hindhu Dharma pantang untuk menumbuk padi dan sejenisnya serta jangan menjual beras.

Rahinan

Purnama Tilem


Dalam setahun ada 12 kali bulan Purnama dan 12 kali Bulan baru. Sebanyak itu pula, umat Hindu Bali akan melaksanakan persembahyangan kepada Hyang Widhi. Jelas bagi orang awam seperti saya, saya akan langsung berpikir bahwa Purnama dan Tilem adalah hari suci untuk memuja Hyang Widhi. Namun ada sesuatu yang menggelitik di hati saya ketika nalar saya bertanya apa bedanya Purnama Tilem dengan hari-hari suci lainnya. Semua hari raya suci Hindu Bali pasti tujuannya untuk memuja Hyang Widhi, namun apa makna esensialnya sehingga umat bersembahyang pada Purnama dan Tilem?

Lama saya  menemukan jawabannya. Sampai kemudian ketika saya mulai secara rutin melaksanakan persiapan nanding banten alit Purnama Tilem untuk Pura Sangga Bhuwana di Jerman. Dari sana saya belajar menelaahnya perlahan-lahan.

Di saat Purnama dan Tilem, kita mempersembahkan sajen utama berupa Canang Sari, Pesucian dan Daksina di Pelinggih Utama, sedangkan Pemangkunya menghaturkan Peras Pejati. Karena penasaran saya krapat-kripit mencari informasi mengenai makna filosofis dari banten yang menyertainya.

Ternyata Canang Sari adalah simbul dari ketiga lapis badan manusia yang disebut Tri Sarira, yakni badan kasar, badan halus dan Atman (Jiwa Suci). Ceper yakni alas canang tersebut yang berisi plawa, porosan, pisang mas, kekiping, beras kuning, geti-geti, burat wangi, lenga wangi menyimbulkan elemen-elemen badan kasar kita yang berasal dari Panca Maha Butha, yang beragam dan berwujud, raka-raka ini menyimbulkan pula kekayaan bumi dan alam semesta. Selanjutnya Duras Bundar adalah simbul badan halus kita, kesadaran bawah sadar, mental dan pikiran, yang halus dan fragil seperti reringgitan pada Duras Bundar tersebut. Sedangkan bunga-bunga harum yang disusun di atas Duras menyimbulkan keindahan dan keharuman Jiwa Atman. Ketiga lapis badan manusia inilah yang disebut Bhuwana Alit.

Sedangkan Daksina adalah simbul alam semesta atau Bhuwana Agung serta tempat melinggihnya dan juga simbul kebesaran Hyang Widhi.

Pada rerahinan atau hari suci Purnama yang dianggap istimewa oleh umat dibuatkan banten tertentu. Misalnya Purnama yang bertepatan dengan “Gerhana Bulan” maka dibuatkan banten sesayut dirgayusa bumi, dan sesayut durmengala. Sesayut ini dihaturkan kehadapan-Nya dan dipuja oleh Sulinggih. Ketika Purnama Sada dibuatkan “banten sesayut Purnama Sada”.

Nalar saya mulai bekerja, menelaah dan menghayati masukan yang sangat berarti ini. Dari haturan Canang Sari dan Daksina ini telah didapatkan dua hal yang jelas yakni simbul yang mempresentasikan Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung. Berarti Purnama dan Tilem sudah pasti ada hubungan dengan manusia dan alam semesta atau hubungan antara Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung. Sungguh  dalam makna yang dikandungnya.

Ternyata setelah ditelisik lebih lanjut, hakekat persembahyangan Purnama dan Tilem adalah hari penyucian jiwa, raga dan juga alam semesta. Penyuciannya disimbulkan dengan Banten Pesucian yang menyertainya. Pesucian adalah sarana yang digunakan sebagai simbul pembersihan untuk menyucikan badan, pikiran dan Jiwa manusia.

Bhuwana Agung disucikan dengan melaksanakan persembahyangan di Pura-Pura, Pelinggih, Pelangkiran dengan memanjatkan doa-doa keselamatan dan kerahayuan alam semesta yang disertai dengan sarana upakara yang sesuai, sedangkan Bhuwana Alit disucikan dengan jalan penyucian diri baik itu melalui jalan bakti kepada Tuhan, jalan perbuatan baik, memperdalam penghayatan ajaran Dharma, maupun melalui tapa, brata, yoga dan semedi, dimana umat dengan khusyuk memuja Tuhan untuk memperoleh pencerahan Jiwa demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.

Purnama Tilem Simbul Nyata dari Hukum Rwa Bhinneda.

Purnama dan Tilem datang silih berganti, seiring putaran waktu. Purnama Tilem mengingatkan manusia akan adanya Rwa Binneda - dua sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan ini. Kekuatan yang positif dan negatif, yang selalu hidup berdampingan dalam keseimbangan yang dinamis. Kedua kekuatan yang tidak dapat dielakkan yang terus mengikuti kemanapun manusia pergi dan apapun yang diperbuatnya.

Datangnya siklus Purnama dan Tilem dirayakan oleh umat Hindu Dharma dengan melaksanakan ritual persembahyangan yang diawali dengan proses mempersiapkan sarana ritual persembahyangan dan penyucian, mencari Kebenaran melalui ilmu pengetahuan Dharma dan melaksanakan perenungan Jiwa melalui tapa, brata dan semedi sebagai perwujudan jalan Bakti, Karma, Jnana dan Raja Marga.

Purnama Tilem mengingatkan manusia apakah ia sudah mampu melepaskan keterikatan akan hukum Rwa Bhineda ini atau sebaliknya apakah ia justru terjerat oleh lilitan Hukum ini?

Disinilah makna filosofis ritual persembahyangan Purnama dan Tilem yang dilaksanakan oleh umat Hindu Dharma. Melalui fenomena ini Alam Semesta melalui pergantian Purnama dan Tilem mengajarkan manusia tentang kekuatan terang dan gelap yang akan selalu berputar dan tidak kekal. Layaknya dalam kehidupan pastilah ada suka dan duka sama seperti guliran terang dan gelap.

Purnama dan Tilem mengingatkan manusia untuk tidak boleh terlarut dalam kesenangan dan kedukaan yang datang sehingga kita menjadi terlena dan terlarut dalam salah satu dari fenomena ini. Manusia harus bisa terbebas dari Hukum Rwa Binneda melalui pendalaman maknanya yang diwujudkan dengan sikap perbuatan sehingga Jiwa kita tetap tenang dan tabah dalam menghadapi sesuatu yang bersifat suka dan duka. Mereka yang telah mampu melewati tantangan siklus suka dan duka disebut Jiwan Mukti atau Moksa selagi masih hidup.

Pada hari Purnama umat Hindu memuja Sang Hyang Chandra. Dan pada hari raya Tilem Umat Hindu memuja Sang Hyang Surya. Kombinasi Purnama Tilem ini merupakan penyucian terhadap Sang Hyang Rwa Bhinneda yaitu Sang Hyang Surya dan Chandra. Pada waktu gerhana bulan beliau dipuja dengan Candrastawa (Somastawa) dan pada waktu gerhana matahari beliau dipuja dengan Suryacakra Bhuwanasthawa.

Pada hari suci Purnama Tilem ini biasanya umat Hindu menghaturkan Daksina dan Canang Sari pada setiap Pelinggih Utama dan Pelangkiran yang ada di setiap rumah. Untuk Purnama atau Tilem yang mempunyai makna khusus biasanya ditambahkan dengan Banten Sesayut.

Berikut hari Purnama Tilem yg mempunyai makna khusus bagi Umat Hindu :

Sasih Kapat
Purnama Kapat beryoga Bhatara Parameswara sebagai Sang Hyang Purusangkara diiringi para Dewa,Widyadara-Widyadari dan para Rsi Gana. Dan pada Tilem Kapat dilakukan penyucian batin persembahan kepada Widyadara-Widyadari.

Sasih Kepitu
Pada purwaning Tilem Sasih Kepitu Umat Hindu merayakan hari raya Suci Siwa Ratri. Pada malam ini Sang Hyang Siwa beryoga, malam ini juga biasa disebut malam peleburan dosa.

Sasih Kesanga
Tilem Sasih Kesanga adalah penyucian para Dewata, dalam hal ini pelaksanaan ajaran Bhuta Yadnya yg disimbulkan Tawur Agung Kesanga.

Sasih Kedasa
Purnama Sasih Kedasa dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Sunya Amerta pada Sad Kahyangan Wisesa. Piodalan Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih dilakasanakan setiap Purnama sasih Kedasa.

Sasih Sadha
Pada Purnama Sadha Umat Hindu memuja Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan.

Demikian beberapa hari suci Purnama Tilem umat Hindu. Pelaksanaan Yadnya yang dilakukan Umat Hindu sebenarnya adalah untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin sehingga kita memperoleh pencerahan. Moksartham Jagadhita Ya Caiti Dharma !!!!

tuak


TIGA KEUNIKAN TRADISI MINUM TUAK DI BALI

Tuak adalah sejenis minuman beralkohol yang banyak dikonsumsi oleh kaum laki-laki Bali. Di beberapa desa di Bali, tuak merupakan minuman tradisional yang digunakan untuk memeriahkan sebuah upacara adat. Berdasarkan bahannya, tuak di Bali ada tiga jenis, yaitu tuak yang terbuat dari sadapan bunga pohon ental, tuak dari air kelapa, dan tuak dari pohon jaka atau enau. Tuak yang baru panen dari pohon rasanya manis, tapi jika sudah setengah hari, maka rasanya agak pahit. Jika tuak yang sudah dipanen tersebut tidak laku dijual, biasanya diolah (disuling) menjadi arak. Arak mengandung kadar alkohol yang lebih tinggi (sekitar 20%) daripada tuak. Ada beberapa desa yang dikenal sebagai penghasil tuak, misalnya desa Bebandem, Tenganan Gunung, Pipid, Gunaksa, Tianyar, Kubu, Pemuteran, dan desa lainnya. Jika anda jalan-jalan ke Bali, anda bisa mengunjungi desa tersebut untuk mencicipi rasa tuak. Namun sebelum anda ingin berwisata ke desa-desa tersebut, ketahuilah tiga keunikan tradisi ”metuakan” (minum-minum) di Bali, yaitu:

1. Satu Gelas untuk Semua
Biasanya ketika Anda  minum-minum di bar atau di tempat pesta lainnya bersama teman-teman anda, masing-masing orang tentunya membawa gelas dan botol bir/wisky sendiri-sendiri. Tapi, masyarakat desa di Bali yang gemar minum tuak hanya menggunakan sebuah gelas untuk semua orang secara bergiliran. Mereka biasanya duduk melingkar di tanah atau di sebuah bale besar. Menggunakan satu gelas dalam acara pesta minum tuak mencerminkan rasa persaudaraan dalam masyarakat Bali.

2. Genjek
Genjek merupakan seni suara khas Bali, berasal dari kabupaten Karangasem. Seni Genjek mirip dengan seni suara akapela. Dalam pertunjukannya, genjek di awali dengan sebuah gending / lagu Bali, yang diiringi oleh musik yang diucapkan oleh mulut. Seni genjek biasanya dilakukan dalam pesta minum tuak. Seorang peminum tuak bertugas menyanyikan sebuah lagu Bali, seorang yang lain bertugas mengatur tempo nyanyian dengan menirukan suara kentong (gong kecil), istilahnya “pung”. Ketika lirik lagu akan berakhir, maka semua peminum memainkan musik secara akapela sambil menari. Jika para peminum banyak yang sudah “punyah” (mabuk), maka pertunjukkan genjek akan semakin seru dan lucu.

3. Istilah Unik Bali 
Berapa gelas alkohol yang biasa anda minum dalam sebuah pesta minuman? Setelah berapa gelas anda mulai merasa mabuk? Nah di Bali, ada istilah khusus untuk menunjukkan jumlah minuman yang diminum dan dampak yang biasanya dialami oleh para peminum, yaitu :
Eka Padmasari artinya satu gelas (bumbung) tuak pertama yang memberikan rasa yang menyegarkan.
Dwi Angemertani, artinya peminum yang telah meminum dua gelas tuak yang membangkitkan rasa semangat.
Tri Raja Busana, artinya peminum yang sudah menenggak tiga gelas tuak, wajah sudah mulai memerah.
Catur Kokila Basa, artinya gelas keempat yang mulai membuat peminum suka berkicau (ngoceh) seperti burung kutilang.
Panca Wanara Konyer berarti peminum telah menghabiskan 5 gelas tuak, dimana efeknya telah membuat peminum pusing atau berjoged.
Sad Wanara Rukam artinya gelas keenam yang membuat peminum duduk dengan kepala pusing yang berat.
Sapta Ketoya Baya, adalah gelas ketujuh yang diminum peminum. Bagi yang tidak kuat minum, tahap ini emosi sering muncul diantara para peminum.
Asta Kebo Dangkal yaitu gelas kedelapan yang biasanya membuat peminum menjadi mabuk berat.

Para peminum di Bali biasanya dalam pesta metuakan, bisa meminum lebih dari 20 gelas tuak. Satu lagi istilah unik dalam metuakan, yaitu SEMINAR artinya SEKAA MINUM ARAK (kelompok peminum arak/tuak).

Desa Kuno Di Bangli


Desa Bayung Gede


Bali banyak memilikidesa-desa kuno yang tetap terjaga kelestariannya dan merupakan warisan budaya nenek moyang, salah satu desa tersebut adalah Desa Bayung Gede yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Desa Bayung Gede merupakan desa tua di Bali, desa ini berhawa sejuk karena berada di ketinggian sekitar 800-900 meter diatas permukaan laut. Dengan iklim tersebut, pertanian lahan kering merupakan andalan warga desa ini,desa ini dikembangkan menjadi proyek percontohan pariwisata sejak tahun 2010. Bentuk rumah yang sama dalam satu desa menjadikan desa ini memiliki ciri khas tersendiri berbeda dengan desa lainnya di Kabupaten Bangli.

Di desa ini warga yang baru saja menikah dilarang memasuki pekarangan dan tidak dianggap sebagai warga Desa Bayung Gede sebelum membayar tumbakan (sejenis maskawin) yang diserahkan kepada Desa dengan dalam bentuk dua ekor sapi, serta menjalani tapa brata (puasa). Pasangan suami-istri pengantin baru itu wajib melakukan prosesi yang disebut "penyekeban" (pematangan) tinggal di sebuah gubuk kecil di ujung desa.


Tidak hanya itu, Desa Bayung Gede memiliki tradisi unik dalam hal menguburkan ari-ari (tali pusar) bayi yang baru lahir. Jika pada umumnyatali pusar bayi ditanam di tanah, di desa ini ditempatkan di batok kelapa dan digantungkan di pohon pada “setra” (kuburan)khusus yang terletak di belakang desa dan tradisi menaruh ari-ari di dalam batok kelapa ini sudah berlangsung sejak ratusantahun lalu.

Kemudian tradisi uniklainnya terletak pada pada prosesi penguburanmayat laki-laki yang berbeda dengan mayatperempuan, mayat perempuan dikubur dalam posisi tengadah karena perempuan dilambangkan sebagai bumi yangmana dalam penguburannya harus menghadap ke langit, sedangkan mayat lelaki-laki dikubur telungkup melambangkan angkasa sehingga dalam penguburannya mesti menghadap ke bumi.

Belum diketahui secara pasti mengenai asal usul nama Bayung Gede karena menurut para tetua desa, Bayung Gede memang sudah ada seperti saat ini. Namun lain halnya menurut Thomas A Reuters dalam bukunya Custodians of The Sacred Mountains:Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali (Yayasan Obor Indonesia, 2005) menyebut Bayung Gede merupakan desa kuno yang menjadi induk dari sejumlah desa-desa kuno lainnya di Bangli seperti Penglipuran, Sekardadi, Bonyoh dan beberapa desa lainnya.

Desa Bayung Gede terkenal juga sebagai penghasil jeruk, kopi, aneka jenis sayuran, jagung serta padi gaga, hal tersebut  menggambarkan mata pencaharian penduduk desa itu sendiri sebagai petani sehingga tak heran jika anda mengunjungi desa ini disaat pagi hari hingga menjelang malam anda tak menjumpai warga desa karena waktu mereka dihabiskan untuk bekerja di kebun dan sawah mereka. Namun hal ini tidak terjadi pada saat pelaksanaan upacara keagamaan, para penduduk akan berlama-lama menghabiskan waktu di pusat desa.

Saat ini aksesibilitas menuju desa sangat baik sehingga memberikan kenyamanan bagi wisatawan dalam melakukan perjalanan mengunjungi desa ini.

Desa ini berjarak sekitar 55 kilometer di timur laut Denpasar atau kira-kira 35 kilometer utara Bangli dan dapat ditempuh melalui 2 jalur, dari jalur Payangan-Kintamani maupun Bangli-Kintamani.

Pulau Bali memang indah menawan, lengkap dengan segala keunikan tradisi adat serta kehidupan masyarakatnya yang tetap menjaga kelestarian warisan nenek moyang mereka, juga keramah tamahan warga desa menjadikan satu penghargaan terhadap propinsi ini untuk tetap menjadi ikon pariwisata Indonesia.