Tradisi Perang Tipat-Bantal
Desa Kapal adalah salah satu desa
tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya, desa yang termasuk
dalam wilayah Kecamatan Mengwi Badung-Bali ini memiliki berbagai tradisi unik
dan menarik yang masih bertahan sampai sekarang, salah satunya adalah
pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal oleh masyarakat
setempat sebagai Tradisi Perang Tipat-Bantal.
Tradisi ini terkait erat dengan
kehidupan pertanian masyarakatnya, di mana tradisi ini dilaksanakan sebagai
rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya
hasil panen di desa ini. Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam
penanggalan Bali (sasih Kapat) sekitar bulan September - Oktober.
pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk
Perang Tipat-Bantal. Tipat / ketupat adalah olahan makanan dari beras yang
dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi
empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga
dibungkus dengan janur namun berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah
simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta
ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Predhana
Pertemuan kedua hal inilah yang
dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, segala yang
tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan
berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Dalam tradisi ini masyarakat Kapal
berkumpul di depan Pura Desa setempat dimana kemudian mereka membagi diri
menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok tersedia tipat dan bantal sebagai
senjata, kemudian kedua kelompok ini saling melempari kelompok yang lain dengan
tipat dan bantal ini.
Tradisi perang ini bermakna bahwa
pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam
hidup dan berkehidupan. Tradisi ini memiliki kemiripan dengan tradisi-tradisi
agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol.
Dari tradisi ini pula dapat dirunut
sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat
dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana
diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi / Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai
Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus
dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal
yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Keberadaan tradisi Perang Tipat â €
"Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa
lontar-lontar, salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal
pelaksanaan tradisi ini ada dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah
seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara
singkat dijelaskan sebagai berikut:
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten
menjadi Raja di Bali menggantikan kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang
meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat
seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo
Iwa dan memiliki seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan
pada waktu itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di
Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338
Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas,
Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan
terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan
untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa
merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat ketika itu, desa
Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan
masyarakatnya. Risau atas kondisi ini kemudian Ki Kebo Iwa meminta jalan keluar
kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara
Purusada. Tatkala melakukan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang
Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare angon
dengan sarana menghaturkan tipat - bantal sebagai simbolisasi Purusha dan
Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut
adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh
perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi
dari Predana / Energi Feminisme / Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah
Pengangon di Desa Kapal sehinggga desa ini makmur dan tentram.
Setelah melaksanakan tugasnya maka
kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu
Anyar (sekarang dikenal dengan nama Bedulu), sampai akhirnya kemudian Bali
ditundukkan oleh Majapahit pada tahun Isaka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari
hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat â € "Bantal ini di
Desa Kapal (+ 666 tahun), salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa
lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan
hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
ini adalah sebuah tradisi unik yang
sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk
penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan dan sebuah
prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehiduan itu sendiri dengan konsep
menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi
kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini.
Di tengah berbagai krisis global yang
terjadi, mulai dari isu pemanasan global sampai krisis pangan di berbagai
belahan bumi, tradisi â € "tradisi seperti ini mungkin dapat membuka
sedikit wawasan kita tentang kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah
menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan semesta
스페인에서 인사말.
BalasHapus