Desa Ubud Bali, Ubud adalah sebuah desa
kelurahan, membawahi 13 (tiga belas) banjar dinas yang terdiri dari 6 (enam)
desa adat, termasuk kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Dengan ketinggian
sekitar 300 meter di atas permukaan laut, Ubud memiliki udara lebih sejuk dari
daerah dataran Bali asli selatan. Desa Ubud, berjarak 20 km dari kota Denpasar,
Ubud dapat dicapai dalam 30 menit atau 15 menit dari kota Gianyar.
Ubud dikenal sebagai daerah yang tenang
dengan pemandangan yang asri. Menawarkan suasana alami untuk menenangkan diri,
pemandangan sawahnya menawan, suasananya sejuk, dan penduduknya ramah, sebuah
lingkungan yang akan membuat jalan-jalan pagi dan sore lebih menyenangkan.
Telah banyak wisatawan datang ke Ubud
mulanya hanya untuk satu atau dua hari tetapi kemudian mereka tinggal lebih
lama, larut dalam budaya dan keindahannya yang mengagumkan. Ubud adalah tempat
dimana Elizabeth Gilbert menemukan kedamaian dan cintanya seperti ditulis dalam
buku best seller miliknya itu, “Eat, Pray, Love”. Buku tersebut akhirnya
difilmkan, dibintangi aktris ternama Julia Robert dan aktris senior Indonesia
Christin Hakim.
Kelurahan Ubud berpenduduk sekitar 9.800
jiwa. Dengan lingkungan yang masih alami, daerah ini merupakan daerah sumber
inspirasi bagi para seniman, termasuk seniman luar negeri, terutama seniman
Eropa.
Ubud disamping memiliki alam yang indah,
daerah ini juga merupakan sebuah desa budaya yang kaya dengan warisan sejarah
para seniman besar, terutama para pelukis terkenal, misalnya I Gusti Nyoman
Lempad (1862-1978), Anak Agung Gde Sobrat (1919-1992), I Gusti Made Deblog
(1910-1986), kemudian disusul oleh yang lain seperti, I Gusti Ketut Kobot, Ida
Bagus Made, Dewa Putu Bedil, Ida Bagus Rai dan lain sebagainya. Ketenaran para
pelukis tersebut di atas ikut memberikan inspirasi terhadap para pelukis barat
untuk berdomisili di desa Ubud.
Sekitar tahun 1920-an, dua pelukis Eropa
yaitu Rudolf Bonnet dari negeri Belanda, dan Walter Spies dari Jerman
menggoreskan sejarah baru perkembangan seni lukis di daerah Ubud. Kedua pelukis
Eropa tersebut memperkenalkan teknik estetika Eropa terutama di bidang
pencahayaan, bayangan, perspektif dan anatomi. Para pelukis lokal menyerap
tehnik-tehnik baru yang sesuai dengan nilai dasar dan pikiran lokal dengan
tetap mengambil tema tradisional sehingga mampu memberi identitas tersendiri
dengan nama gaya Ubud atau Style Ubud.
Desa Ubud menjadi semakin terkenal sebagai
daerah kelahiran para seniman lukis berkat adanya kerjasama antara Tjokordo Gde
Agung Sukawati dengan Rudolf Bonnet untuk membentuk sebuah perkumpulan seniman
dengan nama Pita Maha, yang juga ikut membidani lahirnya Pita Maha adalah
Tjokordo Gde Raka Sukawati, I Gisti Nyoman Lempad pada tahun 1936. Pita Maha
merupakan sebuah perkumpulan dan wadah untuk mendiskusikan masalah dan
perkembangan seni lukis, serta untuk saling bertukar pikiran dan memperkenalkan
hasil seni yang mereka miliki.
Dalam perkembangannya kemudian, atas prakarsa
Ida Tjokordo Gde Agung Sukawati yang didukung oleh Rudolf Bonnet, pelukis
kelahiran Nederland dan juga para pelukis setempat merencanakan mendirikan
sebuah musium. Yayasan Ratna Wartha yang dibentuk sebelumnya diberikan tugas
untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan museum tersebut. Pada tahun 1945
mulailah pembangunan museum itu yang mana peletakan batu pertama dilakukan oleh
Perdana Menteri Ali Sustroamidjoyo. Dalam kurun waktu dua tahun, tepatnya pada
tahun 1956 museum tersebut dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mr.Moh.Yamin
Sebagai daerah tujuan wisata, Ubud memiliki
banyak objek yang menarik bagi wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara.
Beberapa diantara objek tersebut adalah Puri Saren, yang terletak di Puri Ubud,
pasar seni tradisional, Monkey Forest (Wenara Wana) dan museum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar