Pura Goa Gajah
Di Pura Goa Gajah ada tiga tipe bangunan
keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat
berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga
yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada
bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya
pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping
itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Apa dan
bagaimana konsep dan misi pembangunan Pura Goa Gajah tersebut?
TIGA bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa
Gajah ini sungguh sangat menarik untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern
dengan teknologi hidup yang serba canggih. Yang patut dikaji adalah sikap
toleransi leluhur orang Bali di zaman lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa
Pasupati memang ada perbedaannya dengan agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi
substansi keagamaan Hindu tersebut adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat
sejarah munculnya agama Buddha pun berasal dari proses pengamalan ajaran suci
Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan pada arah beragama ke dalam diri
sendiri. Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga.
Niwrti Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani,
sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga dengan
orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan cara
Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.
Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai kondisi
yang "Pasupata". Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan kata
Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata atau Pasupati
artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu yang identik dengan
sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu yang identik dengan
sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa secara bertahap
seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah dapat menguasai
diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar dalam menempuh
cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti
yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama
dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa
Siddhanta berarti sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya
dalam satu sekte saja agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk
memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat
tidak dipaksa harus ikut ini atau itu.
Umat dipersilakan secara
mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Ini artinya
penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai
penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut
sama yaitu berdasarkan Weda. Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa
Pasupata tidak menganggap penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini
artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu benar-benar menghargai privasi beragama
sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi.
Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan
oleh umat Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada
peninggalan Hindu kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal
kalau pada zaman sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang
lain yang berbeda sistem penekanan beragamanya.
Umat Hindu di masa
lampau terutama para pemimpinnya benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam
mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang
universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun
dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak produktif kalau ada yang
memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan.
Menyikapi perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu
dan nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan
keagamaan Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di
Bali. Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran
Hindu yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama
meyakini bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan
duniawi yang tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi
keterikatan nafsu tersebut.
Carwakas memandang agar nafsu tidak
mengikat maka nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas.
Dengan nafsu itu terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan
habis dan lenyap maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya
aliran Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan
fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan
indah-indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang
sedang terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar
kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita.
Dalam kondisi seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam
Buddha memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Silahkan Prajnya
dan Samadhi. Silahkan berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati
nurani adalah suara atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat
baik itu didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik
hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi.
Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang
dipertentangkan itu.
Setelah seratus tahun Sidharta mencapai
Nirwana barulah wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga
bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah
substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa
Pasupata maupun Siwa Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah
itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja.
Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu
sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera di
dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.
Keberadaan ciptaan Tuhan ini memang Sama
Beda. Namun yang penting adalah bagaimana cara memposisikan persamaan dan
perbedaan tersebut. Kalau persamaan dan perbedaan itu dimanajemen dengan baik
maka semuanya akan lebih produktif mendambakan hidup rukun dan damai mencapai
kehidupan yang bahagia dan sejahtera berdasarkan kebenaran dan kesucian.
Umat Hindu khususnya dan
umat beragama pada umumnya ada baiknya kita kembali renungkan berbagai warisan
keagamaan yang berada di Pura Goa Gajah itu.
Kerukunan dan toleransi untuk saling
menghargai eksistensi pihak lain yang berbeda sangat jelas tercermin di Pura
Goa Gajah. Ke depan umat Hindu harus lebih berpendidikan kalau dibandingkan
dengan umat di masa lampau. Seyogianya umat Hindu dewasa ini lebih mampu
menunjukkan kelebihannya dalam mengelola perbedaan. Janganlah justru terbalik
justru perbedaan dijadikan ajang untuk saling bermusuhan. * Wiana
Tri Purusa di Goa Gajah
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali
duhka.
Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit tanpa
tungtung.
Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan tan
wenang
winastwan ikang sukha, salah linaksanan.
(Wrehaspati Tattwa.50).
Maksudnya:
Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan
yang tidak berbalik pada kedukaan. Paramasiwa Tattwa adalah kebahagiaan yang
bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak benar
bila diberi ciri-ciri.
Di Pura Goa Gajah ada ceruk di mana di dalam
salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga Lingga berjejer dalam satu
lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam
tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa
sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah
satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata.
Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral
sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri
Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai
jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa
agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan
sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha.
Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berpangkal dan tidak
berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala
yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan
fitur-fiturnya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing Lingga dikelilingi oleh
delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru
dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka,
artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam.
Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk
menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana.
Delapan dewa di masing-masing bhuwana itu
adalah sebagai dewa manifestasi dari Siwa. Dalam buku "Penuntun ke Objek
Purbakala" oleh Prof. Drs. I Gst. Gde Ardana dinyatakan tiga Lingga di
Pura Goa Gajah itu ada yang menduga sebagai simbol pemujaan Tri Murti. Dugaan itu
sepertinya kurang nyambung dengan konsep Pantheon Hindu.
Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu
Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala.
Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun
domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunan-bangunan suci
Hindu yang sangat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa
pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga
ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah
ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga
Lingga besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat
arca Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada
tiga Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben
adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem Pantheon Hindu. Karena adanya
arca Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.
Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan
Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya
halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan
untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam
menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa
Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang
bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini
sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini.
Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam
kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman
menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali.
Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca shower ini ada
enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca
bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma. Padma adalah simbol
alam semesta stana Hyang Widhi.
Di tengahnya ada arca laki simbol
Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan ada
yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan.
Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi
munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut
Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga.
Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya
berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.
Pada segi delapan berbentuk bulat panjang.
Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram
air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air
itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan
perkebunan.
Arca shower itu lambang air mengalir untuk
membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air
itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi.
Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan
obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan
suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada
zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai
pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang. Karena itu di
sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada
Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih pesimpangan Batara di
Gunung Agung dan Gunung Batur.
Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih
leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara
Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa
bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk
persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya
Hindu lainnya.
Peninggalan yang lebih kuno dari
peninggalan Hindu di Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di
luar goa di sebelah baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut
arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku
banyak anak. Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang
wanita pemakan daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini
mempelajari ajaran Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat
religius dan penyayang anak-anak.
Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit
diketemukan arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap
Dhyani Buddha Amitaba ini dalam sistem Pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha
pelindung arah barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu
dan Buddha di Pura Goa Gajah. * I Ketut Gobyah
sumber:
(Http://kemoning.info/blogs/?cat=20)
(Http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/11/8/bd2.htm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar