Candi Gunung Kawi
Mendengar
kata “Gunung Kawi” barangkali ingatan kita akan melayang ke sebuah gunung cukup
kesohor di Jawa Timur yang sering dijadikan tempat pesugihan untuk mencari
kekayaan. Iya, Gunung Kawi yang terletak di dekat Gunung Butak tersebut
terkenal sampai ke seantero negeri ini. Namun, bukan Gunung Kawi itu yang
dimaksud melainkan Candi Gunung Kawi yang terletak di Tampaksiring, Bali.
Candi
Gunung Kawi terletak di Sungai Pakerisan, Dusun Penangka, Desa Sebatu,
Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia.
Jalur
menuju Candi Gunung Kawi merupakan jalur yang sama menuju Istana Tampak Siring.
Lokasi candi terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Denpasar dengan perjalanan
sekitar 1 jam menggunakan mobil atau motor. Sementara dari Kota Gianyar
berjarak sekitar 21 kilometer atau sekitar setengah jam perjalanan.
Menurut
sejarahnya bahwasanya diantara raja-raja Bali yang memerintah Bali, yang paling
terkenal adalah dari dinasti Warmadewa, Raja Udayana adalah berasal dari
dinasti ini dan beliau adalah anak dari Ratu Campa yang diangkat anak oleh
Warmadewa. Setelah dewasa beliau menikah dengan putri dari empu sendok dari
jawa timur (kediri) yang bernama Gunapriya Dharma Patni, dari perkawinan ini
beliau menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat
tahun 1041, kerajaannya di jawa timur dibagi 2 (dua). Pendeta budha yang
bernama Mpu Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali diberikan kepada salah satu
putra Erlangga, tetapi ditolak oleh Mpu Kuturan.
Selanjutnya
Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu antara tahun 1049-1077 dan dibawah
pemerintahanya Bali merupakan daerah yang subur dan tentram.
Setelah
beliau meninggal abunya disimpan dalam satu candi dikomplek Candi Gunung Kawi.
Tulisan yang ada di pintu masuk situs ini berbunyi "Haji Lumah Ing
Jalu" yang berarti Sang Raja dimakamkan di "Jalu" sama dengan
"susuh" dari (ayam jantan) yang bentuknya sama dengan Kris, maka
perkataan "Ing Jalu" dapat ditafsirkan sebagai petunjuk "Kali
Kris" atau Pakerisan. Raja yang dimakamkan di Jalu dimaksud adalah Raja
Udayana, Anak Wungsu, dan 4 orang permaisuri Raja serta Perdana Mentri raja.
RAJA
bagaikan seorang ayah mengayomi kehidupan rakyatnya mendapatkan rasa aman dan
kesejahteraan secara adil akan dihormati oleh rakyatnya sampai sang raja
menjadi roh suci atau Dewa Pitara. Penghormatan pemimpin bagaikan menghormati
ayah kandung seperti itu karena rakyat benar-benar merasa mendapatkan
perlindungan dari pemimpinnya seperti anak mendapatkan perlindungan dari ayahnya
sendiri.
Demikianlah
Raja Udayana dihormati oleh rakyatnya di Pura Gunung Kawi. Pura ini merupakan
Pura Padharman dari Raja Udayana. Artinya, pura ini untuk menstanakan roh suci
atau Dewa Pitara keluarga Raja Udayana. Mengapa pura ini disebut Gunung Kawi.
Karena yang dikawi atau yang diukir adalah lereng gunung di Sungai Pakerisan.
Kata
"kawi" berarti mengarang kalau kata-kata bijak yang dirangkai menjadi
syair yang indah dan penuh makna. Kalau lereng bukit yang dikawi maka kata
"kawi" itu berarti mengukir. Konon yang mengukir lereng bukit Sungai
Pakerisan itu menjadi candi adalah Kebo Iwa, tokoh ahli bangunan atau arsitek
pada zaman pemerintahan keluarga Raja Udayana. Kebo Iwa membuat ukiran candi
sampai menjadi Pura Gunung Kawi dengan menggunakan kukunya. Demikian dinyatakan
dalam buku hasil sejarah penelitian pura oleh IHD (sekarang Unhi).
Proses
menstanakan roh suci atau Dewa Pitara itu dalam kitab Negara Kertagama disebut
Dinarma atau Dharmakan. Dalam Lontar Purwa Bumi Kamulan disebut Ngalinggihang
Dewa Pitara. Menstanakan Dewa Pitara ini sebagai sistem pemujaan leluhur
sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena dalam Sarasamuscaya 250 dinyatakan
bahwa orang yang sungguh-sungguh berbakti pada leluhurnya dijanjikan empat
pahala mulia. Empat pahala itu adalah Kirti (sejahtra). Bala (kuat fisik), Yusa
(umur panjang) dan Yasa (dapat berbuat jasa dalam hidup ini).
Raja
Udayana adalah raja dari Wamsa Warmadewa. Raja ini memerintah Bali bersama
dengan permaisurinya bernama Mahendradata dengan gelar Gunapriya Dharma Patni
yang berasal dari Jawa Timur. Sejak pemerintahan suami-istri pada abad XI ini
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja di Bali tidak lagi hanya
menggunakan bahasa Bali, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Ini artinya
pengaruh Hindu Jawa telah masuk ke Bali. Kesusastraan Hindu Jawa pun mulai
semakin kuat mempengaruhi kesusastraan Bali.
Sejak
itulah secara pelan-pelan penduduk Hindu di Bali mengenal yang namanya'' sekar
alit, sekar madia dan sekar agung ". Kesusastraan Jawa Kuna dengan muatan
cerita Ramayana dan Mahabharata mulai masuk lebih intensif dari Jawa ke Bali.
Demikian pula istilah pura masuk dan digunakan di Bali meskipun saat itu belum
digunakan untuk menamakan tempat suci.
Istilah
pura saat itu baru digunakan untuk menyebutkan ibu kota kerajaan. Karena itu
ada sebutan Linggarsa Pura, Sweca Pura dan Smara Pura. Pada abad ke-16 Masehi
istilah pura baru digunakan sebagai sebutan tempat pemujaan. Sejak itulah baru
ada istilah Pura Kahyangan untuk menyebutkan tempat pemujaan Hindu.
Pura
Gunung Kawi dalam wujud candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan. Dalam
prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Marakata, putra Raja Udayana, yaitu
Prasasti Songan Tambahan dinyatakan: Sang Hyang Katyagan ing Pakerisan mengaran
ring ambarawati. Kemungkinan nama itu adalah nama Candi Pura Gunung Kawi saat
itu. Sedangkan nama Gunung Kawi mungkin muncul belakangan.
Pura
Candi Gunung Kawi dibagi menjadi empat kelompok. Ada kelompok lima candi
dipahatkan di tebing timur Sungai Pakerisan berjejer dari utara ke selatan.
Kelima candi ini menghadap ke barat. Pahatan candi yang paling utara ada
tulisan yang berbunyi "haji lumah ing jalu". Kemungkinan candi yang
paling utara untuk stana pemujaan roh suci Raja Udayana. Sedangkan yang
lain-lainnya adalah stana anak-anak Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu
serta permaisurinya.
Di
pintu masuk candi sebelah selatan dari Candi Udayana ada tulisan "rwa
anakira". Artinya, dua anak beliau. Candi inilah yang ditujukan untuk
stana putra Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu.
Sementara
di tebing barat Sungai Pakerisan terdapat empat kelompok candi yang dipahatkan
di tebing Sungai Pakerisan itu berjejer dari utara keselatan menghadap ke
timur. Menurut Dr. R. Goris, keempat candi ini adalah sebagai padharman empat
permaisuri raja. Di samping itu ada satu pahatan candi lagi terletak di tebing
barat daya Sungai Pakerisan.
Di
candi itu ada tulisan dengan bunyi "rakryan". Kemungkinan candi ini
sebagai padharman dari seorang patih kepercayaan raja. Karena itulah diletakkan
di sebelah barat daya. Di sebelah selatan candi kelompok lima terdapat wihara
berjejer sebagai sarana bertapa brata. Raja Udayana dengan permaisurinya
berbeda sistem keagamaannya. Raja Udayana lebih menekankan pada ke-Budha-an,
sedangkan Gunapriya Dharma Patni lebih menekankan pada sistem kerohanian Siwa.
Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu di Bali disebut Agama Siwa Budha.
Keberadaan
Pura Candi Gunung Kawi ini yang menempatkan dua sistem keagamaan Hindu yaitu
sistem Siwa dan sistem Budha sebagai suatu hal yang sangat baik untuk
direnungkan demi kemajuan beragama Hindu ke depan. Di samping itu Raja Udayana
sangat menerima baik adanya unsur luar yang positif untuk menguatkan budaya
Bali saat itu. Seandainya Raja Udayana saat itu menolak apa yang datang dari
luar Bali tentunya umat Hindu di Bali tidak mengenal kesusastraan Hindu seperti
sekarang ini.
Misalnya
ada berbagai jenis karya sastra parwa dan Kekawin dalam bahasa Jawa Kuno dengan
muatan cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya sastra Jawa Kuno ini amat besar
jasanya dalam memperkaya kebudayaan Hindu di Bali sehingga Bali memiliki
kebudayaan yang sangat tinggi sampai sekarang. Semua unsur itu dipadukan dengan
budaya Bali yang telah ada sebelumnya. Demikianlah bijaknya Raja Udayana pada
zaman dahulu.
Disebelah
tenggara dari komplek candi ini terletak Wihara (tempat tinggal atau asrama
para Biksu / pendeta Budha). Peninggalan Candi dan Wihara di Gunung Kawi ini
diperkirakan pada abad 11 masehi dan juga wujud toleransi hidup Bergama pada
waktu itu yang patut menjadi contoh dan tauladan bagi kita di masa ini, belajar
dari kearifan masa lalu .......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar