Babad sejarah Bali adalah suatu
periode pada saat masa Pra-Sejarah penduduk Bali mulai berakhir dan terjadi
transisi digantikan oleh di mulainya periode sejarah yang mana pada periode
Babad sejarah Bali ini sebuah jaringan ceritera yang memang benar - benar
terjadi dalam Sejarah kehidupan Masyarakat Bali telah memiliki bukti yang kuat
akan kisah-kisah yang di riwayatkan tersebut karena pada periode ini leluhur
masyarakat Bali telah mengenal Adat istiadat, Budaya, Seni, Bahasa, Tulisan
bahkan Agama yang pada masa tersebut disebut aliran Kepercayaan.
Untuk memahami keunikan dan
keistimewaan Bali memang tidak bisa dilepaskan dengan tapak-tapak sejarah
(Babad Sejarah) perkembangan Bali dari masa ke masa. Babad Sejarah Bali menjadi
begitu unik dan khas karena didukung oleh sikap warganya yang memberikan perhatian
khusus dan rasa hormat yang begitu mendalam terhadap segala sesuatu yang sudah
menjadi warisan peninggalan nenek moyang dan para leluhurnya. Kepercayaan, rasa
hormat dan rasa Terima kasih masyarakat Bali terhadap leluhurnya menjadikan
perhatian khusus terhadap peninggalan sejarah begitu tinggi dan khusus di
seluruh daratan Bali. Begitu banyak peninggalan Babad sejarah tersebut yang di
jaga dan dipelihara dengan sebaik - baiknya bahkan tidak sedikit yang
diberlakukan sebagai benda keramat atau tempat suci yang tidak bisa terganggu
dan tidak bisa diperlakukan tidak semestinya. Perjalanan Bali dari Masa ke Masa
Dalam pengungkapan Babad sejarah Bali, harus dipahami terlebih dahulu
perjalanan Bali dari mulai Zaman Purbakala dan Zaman Pra-Sejarah yang terdiri
dari 4 waktu (Lihat Bab. 2.4 pada 4. Waktu dalam Pra-Sejarah Jakarta) kemudian
berlanjut memasuki periode Babad sejarah Bali yang terdiri dari 5 Waktu
diantaranya yaitu:
1. Masa Bali Mulai
2. Masa Bali Kuna
3. Masa Bali Aga
4. Waktu Bali Hindu (Majapahit)
5. Bali Masa Kini.
Dengan pembelajaran dan pemahaman
rinci seperti itu tentunya kondisi Geografis, Masyarakat, Agama dan Budaya Bali
pada akhirnya dapat diketahui dan di mengerti secara lebih lengkap, utuh dan
sempurna. Bahkan dalam rangka untuk lebih menjiwai dan mendalami lagi sejarah
tentang Bali secara mitologi, juga harus sedikitnya mengerti dan mempelajari
beberapa cerita / Legenda rakyat yang memang ada kaitan dengan Babad sejarah
dan silsilah sebuah tempat atau peristiwa yang pernah ada di Bali.
Masa Bali Mulai
Berdasarkan kepada Penelitian dan
Penemuan serta Legenda yang beredar dalam masyarakat Bali menyangkut asal-usul
pemberian nama untuk sebuah pulau sebelah timur Jawa, terdapat bukti - bukti
akurat yang sangat populer dan diyakini akan kebenarannya. Sekelompok
Masyarakat yang hidup pada saat itu (pada saat awal mula penamaan Bali) disebut
- sebut sebagai kelompok sosial yang dinamakan Masyarakat "Bali
Mula". (leluhur & asal muasal Masyarakat Bali asli yang sudah mulai memiliki
Budaya) Adapun penjelasan mengenai awal mula penamaan Bali tersebut adalah
sebagai berikut: Keberadaan Budaya Masyarakat "Bali Mula" ditandai
dengan kedatangan salah seorang Pertapa Maha Sakti di "Gunung Raung"
Jawa Timur yang bernama "Maha Resi Markandeya" pada abad ke-7,
peristiwa tersebut sungguh telah memberikan Arti dan Pengaruh yang sangat besar
dan mendalam untuk kehidupan seluruh Masyarakat Bali selanjutnya. Suatu ketika
beliau mendapat perintah Ghaib dari Tuhan untuk melakukan perjalanan ke arah
timur pulau Dawa sekarang (Jawa) sampai menyebrang ke sebuah daratan yang
terletak di sebelah timur pulau Dawa tersebut, beliaupun mendapat perintah
untuk mendirikan tempat suci pemujaan dan menetap dan bertempat tinggal di
sebelah timur Pulau Dawa tersebut. "Dawa" artinya panjang, karena
memang dahulu kala (di jaman Purbakala) pulau Jawa dan Bali menjadi satu
daratan yang terbentang luas dan sangat panjang. Dengan diikuti oleh 800
pengikutnya, ia mulai bergerak ke arah timur yang masih berupa hutan belantara.
Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang Bali Barat karena
pengikut beliau banyak yang tewas dimakan harimau dan ular-ular besar penghuni
hutan, konon pada saat itu di seluruh daratan masih terdapat pohon - pohon
besar dan hutan yang tidak dapat ditembus mata hari "peteng" Akhirnya
beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemedi dan mencari pengikut
baru. Dengan semangat dan tekad yang kuat, perjalanan beliau yang kedua sukses
mencapai tujuan di kaki Gunung Agung (Bali Timur) selanjutnya setibanya di sana
ia bermaksud untuk membangun sebuah peristirahatan. Namun secara tidak diduga
proses pembangunan tempat peristirahatan tersebut bermasalah sangat serius
karena terjadi Wabah penyakit mengerikan sejenis penyakit kulit, penyakit
seputar perut dan penyakit gila yang berujung pada kematian secara misterius
para pengikutnya. Untuk melanjutkan rencana pembangunan tempat peristirahatan
dan guna menyelamatkan para pengikutnya maka "Sang Resi Markandeya"
dengan kekuatan ghaibnya kembali melakukan semedi tingkat tinggi dan dalam
semedinya tersebut "Sang Resi Markandeya" mendapat Wangsit dari
"Sang Hyang Widhi wase", bahwa sebelum melanjutkan pekerjaan
pembuatan tempat peristirahatan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu
upacara Ritual Sakral berupa penanaman 5 buah benda-benda berharga yang disebut
"Panca Datu" sebagai simbol dan media penyelamat serta sebagai
Pondasi yang di letakan / ditanam di bawah tempat pemujaan di dekat
peristirahatannya yang ingin ia bangun tersebut. Adapun ke lima (5) benda
berharga tersebut diantaranya adalah berupa lima jenis logam yang terpercaya
mampu menolak mara bahaya diantaranya: Emas, Perak, Perunggu, Tembaga dan Besi
/ Baja. Selanjutnya tempat pemujaan suci tersebut dinamakan "Sanggar Basuki".
sementara tanah sekitarnya yang ada pada saat itu beliau bagi-bagikan kepada
pengikutnya untuk dijadikan Sawah, tegalan, Rumah, dan tempat suci yang dinamai
"Hulundang Wasukih" yang sekarang disebut daerah Pure Besakih. Nama
Besakih diambil dari kata "Basuki" atau dalam naskah kuno ditulis
sebagai Basukir atau Basukih. Kata Basuki sendiri diambil dari kata Sanskerta
"Wasuki" yang berarti "Penyelamat". Sementara, dalam
mitologi "Samudramanthana" disebutkan bahwa Basuki adalah nama naga
yang melingkari Gunung Mandara penjaga keamanan dan kesejahteraan. Di sinilah
beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yang menyebut "Tuhan"
dengan nama "Sanghyang Widhi" melalui penyembahan kepada
"Surya" (Surya Sewana) sebanyak tiga kali dalam sehari, dengan
menggunakan alat-alat "bebali" yaitu sesajen yang terdiri atas tiga
unsur kehidupan berupa "Air, Api dan Bunga Harum". Ajaran agamanya
disebut agama "Bali", Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke
daerah sekitar, sehingga masyarakat yang berasal dari daerah ini menamainya
dengan nama daerah Bali, daerah yang segala sesuatunya mempergunakan
"bebali" yang dalam bahasa Sansekertanya bebali adalah berarti
sesajian. Bisa disimpulkan bahwa nama "Bali" berasal dari kata
"bebali" yang artinya "Sesajen". Sebuah Manuscript dari
kitab Ramayana yang disusun 1200 SM menyebutkan bahwa "Ada sebuah tempat
di timur Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan
kesenangan dan Penghormatan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen). "
"Vali Dwipa" adalah sebutan untuk Pulau "Vali" yang
kemudian berubah seiring dengan fenomenanya yang berjalan secara alami menjadi
Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat
orang Bali sampai saat ini memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam
menjalankan kehidupan sehari-harinya. Riwayat tambahan: Pada saat "Sang
Resi Markandya" bersemedi meminta petunjuk "Sanghyang Widhi
wase" di lereng Gunung Raung sebelum mendirikan Sanggar & tempat
peristarahatan "Besakih" karena pengikutnya banyak yang terkena Wabah
Penyakit Misterius dan Mengerikan yang menyebabkan banyaknya kematian maka
beliau mendapat 2 wangsit yang harus di jalankan guna menyelamatkan para
pengikutnya, adapun 2 wangsit tersebut diantaranya adalah: 1. Perintah
pelaksanaan "Panca Datu" yaitu penanaman (5) benda berharga yang bisa
menolak mara bahaya diantaranya: Emas, Perak, Perunggu, Tembaga dan Besi /
Baja. 2. Bahwa berkaitan dengan nama pulau tersebut yaitu "Vali
Dwipa" yang dipercaya merupakan hadiah / pemberian dari "Sanghyang
Widhi wase" maka di seluruh daratan pulau Bali harus di dirikan tempat
pemujaan suci sebanyak - banyaknya dan di segala penjuru yang kemudian dikenal
dengan 9 arah mata angin sebagai ucapan terima kasih, rasa hormat dan syukur
kepada "Sanghyang Widhi wase" dan sebagai penjaga / penolak datangnya
Mara bahaya, Bencana dan Musibah yang akan menimpa Bali.
Masa Bali Kuna
"Bali Kuna" adalah
sekelompok Masyarakat penduduk Bali Tua asli yang merupakan keturunan dan
generasi penerus dari Masyarakat "Bali Mula", Masyarakat "Bali
Kuna" memang diakui sebagai salah Nenekmoyang / leluhur dari pada masyarakat
Bali saat ini. Oleh karena keberadaannya yang sudah cukup Tua di daratan pulau
Bali maka kelompok masyarakat ini di sebut dengan istilah "Bali Kuna"
(Kuno), namun demikian masyarakat "Bali Kuna" di katakan sebagai
penerus dari masyarakat "Bali Mula" karena meskipun dikatakan Kuno
tetapi keberadaannya tetap sebagai generasi penerus setelah masa masyarakat
"Bali Mula" mulai sirna, hal ini disebabkan karena masyarakat
"Bali Kuna" bukanlah masyarakat yang hidup pada saat awal Bali
ditemukan dan mulai memiliki nama (lihat ceritra "Sang Resi
Markandeya"). Masyarakat "Bali Kuna" diyakini hidup ketika
Masyarakat Bali sudah memiliki kebudayaan, Adat Istiadat, Kesenian, Bahasa dan
Tulisan Kuno dan Agama, yang disebut agama "Shiwa" yang mana pengaruh
dan nuansa dari Agama Budha sudah mulai terlihat, agama tersebut lebih dikenal
dengan sebutan agama kepercayaan dimana masyarakat pada waktu itu sudah
melakukan penyembahan sebagai implementasi akan pengakuan dan keyakinan atas
keberadaannya "Sanghyang Widhi wase" melalui media Alam atau langit dengan
ritual dan prosesi penyembahan mengikuti ajaran yang diperoleh dari generasi
sebelumnya yaitu ritual dan prosesi penyembahan yang sama seperti yang di
lakukan oleh Masyarakat "Bali Mula" yang di ajarkan oleh "Sang
Resi Markandya". Masa "Bali Kuna" dapat juga dikatakan masa -
masa yang cukup penting dimana Masyarakat Bali pada saat itu mulai mengenal
sebuah sistem pemerintahan yang lebih terorganisir yang disebut dengan system
pemerintahan Monarki ortodok atau lebih dikenal dengan istilah Pemerintah dan
pada waktu - masa inipun Masyarakat Bali mulai menorehkan berbagai macam Mitos
dan Legenda yang akan terus di kenang sampai saat ini. Sebuah peninggalan
paling penting untuk masyarakat Bali yang berhasil di catat sebagai sejarah
Masyarakat Bali adalah adalah dimana pada periode ini sebuah kerajaan pertama
di Bali mulai berdiri yang disebut dengan "Kerajaan Bedahulu". Ada
beberapa teori populer yang menjelaskan tentang "Bali Kuna"
diantaranya adalah: Bahwa masyarakat dan Budaya "Bali Kuna" adalah
sebuah kelompok Masyarakat berbudaya yang mulai tercipta setelah "Bali
Mula" lambat laun mulai sirna, ada pula yang berpendapat bahwa perbedaan
antara "Bali Kuna" dan "Bali Age" yaitu bahwa "Bali
Kuna" adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat sedangkan "Bali
Age" adalah sebuah istilah untuk Kebudayaan, adat istiadat, pengaturan dan
norma yang berlaku untuk Masyarakat / kelompok "Bali Kuna ". .
Masa Bali Aga
Ketika mendiskusikan tentang
kebudayaan masyarakat Bali Aga, orang biasanya tak akan lupa menengok sebuah
desa kuno di wilayah Kabupaten Karangasem ini. Di antara sejumlah desa-desa
Bali Aga yang masih bertahan, Tenganan Pegringsingan memang tergolong masih
cukup berhasil menjaga keasliannya. Karenanya, Tenganan Pegringsingan pun kerap
menjadi ikon dalam diskusi mengenai kebudayaan masyarakat Bali Aga.
Orang sudah terlampau mengenal
Tenganan Pegringsingan, memang. Terlebih lagi desa ini ditetapkan Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Karangasem sebagai salah satu objek wisata andalan.
Karenanya, saban hari wisatawan, baik domestik maupun mancanagera mengunjungi
desa ini. Orang yang ingin mengunjungi desa ini dari Denpasar mesti menempuh
perjalanan sekitar 70 kilometer ke arah timur. Tiba di Candi Dasa, Anda belok
menuju ke utara sekitar 3 kilometer. Setelah melewati Desa Pesedahan Anda akan
melihat papan ucapan selamat datang di Desa Tenganan. Tenganan Pegringsingan
sejatinya satu di antara sejumlah desa pakraman yang masuk dalam wilayah
pemerintahan dinas Desa Tenganan. Desa-desa pakraman lainnya yakni Tenganan
Dauh Tukad, Gumang, Bukit Kangin dan Bukit Kauh. Desa Pakraman Tenganan
Pegringsingan sendiri terdiri dari tiga banjar yakni Banjar Kauh di bagian
barat, Banjar Tengah di tengah-tengah serta Banjar Kangin / Pande di bagian
timur. Desa Tenganan Pegringsingan berada di sebuah lembah dan diapit oleh
bukit dengan luas wilayah mencapai 917.200 ha. Karena letaknya seperti itu,
Desa Tenganan Pegringsingan dibuat berundak atau terasering dengan posisi makin
ke selatan makin rendah. Tujuannya tentu saja untuk menghindari kikisan air
hujan. Di dalam desa juga dibuat saluran limbah atau utilitas lingkungan yang
terencana dengan baik seperti adanya boatan, teba pisan dan paluh menuju
sungai. Pemukian di desa ini berpetak-petak lurus dari utara ke selatan dengan
luas pekarangan yang sama yakni 2,342 are. Masing-masing rumah dihuni satu
keluarga. Tiap-tiap leret rumah dibelah oleh sebuah jalan tanah yang disebut
sebagai sebagai awangan. Awangan ini dibatasi oleh sebuah sekolan air. Ada tiga
awangan di desa ini. Ada awangan barat, awangan tengah dan awangan timur.
Awangan tengah dan timur lebih kecil, kira-kira setengah dari lebar awangan di
barat. Awangan barat kerap menjadi pusat keramaian tiap kali dilaksanakan
upacara keagamaan atau adat. Struktur pembagian tata ruang desa mengikuti
konsep Tapak Dara yakni pertemuan antara arah angin kaja-Kelod (utara-selatan)
yang merupakan simbol segara-gunung (laut-gunung) dan arah matahari kangin-kauh
(timur-barat). Pertemuan kedua arah itu dipersepsikan sebagai perputaran nemu
gelang (seperti lingkaran) dengan porosnya berada di tengah-tengah. Orang
Tenganan Pegringsingan mengenalnya dengan istilah maulu ke tengah atau
berorientasi ke tengah-tengah. Maknanya, mencapai keseimbangan melalui
penyatuan bhuwana alit (manusia dan karang paumahan atau pekarangan rumah)
dengan bhuwana agung (pekarangan desa). Perkampungan dikelilingi tembok bak
benteng pertahanan. Lawangan atau pintu masuk desa berada di keempat penjuru.
Orang Tenganan Pegringsingan menyebut konsep penataan ruang desanya itu sebagai
Jaga satru (berjaga dari serangan musuh). Penduduk Desa Adat Tenganan
Pegringsingan hingga tahun 2005 tercatat 215 kepala keluarga (KK) atau 661 jiwa.
Umumnya masih berpendidikan SD dan SMP. Namun, sudah banyak juga warga Tenganan
Pegringsingan yang mengenyam pendidikan tinggi dan meraih gelar sarjana.
Aktivitas keseharian warga Tenganan Pegringsingan yakni bertani atau pun
menekuni usaha kerajinan. Tenganan Pegringsingan memiliki lahan tegalan yang
cukup luas yakni 583,035 ha (sekitar 66,41 persen dari luas desa) serta lahan
sawah seluas 255,840 ha (25,73 dari luas desa). Lahan itu ada yang digarap
sendiri, tetapi umumnya digarap oleh orang luar dan warga Tenganan
Pegringsingan hanya menerima hasilnya. Usaha kerajinan yang ditekuni orang
Tenganan Pegringsingan berkaitan erat dengan keberadaan desa ini sebagai desa
wisata. Ada yang menenun dengan produksi unggulan kain geringsing, ada yang
membuat atta, membuat lontar serta aneka cenderata untuk wisatawan.
Masa Bali Jaman
Majapahit
Menurut sejarahnya diantara raja -
raja yang memerintah di Bali yang paling terkenal adalah Dinasti Warmadewa.
Raja Udayana adalah merupakan dinasti ini dan beliau adalah anak dari Ratu
Campa yang diangkat anak oleh Warmadewa. Setelah dewasa Udayana nikah dengan
Putri Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni, dari perkawinannya ini
menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat tahun
1041, kerajaanya di Jawa Timur dibagi Dua. Pendeta Budha yang bernama Empu
Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali diberikan kepada salah satu Putra
Erlangga, tetapi ditolak oleh Empu Kuturan. Selanjutnya Bali diperintah oleh
Raja Anak Wungsu antara tahun 1029 - 1077 dan dibawah perintahnya Bali
merupakan daerah yang sangat subur dan tentram. Setelah beliau meninggal abunya
disimpan dalam satu candi di komplek Candi Gunung Kawi. Tulisannya yang
terdapat diatas pintu semu yang berbunyi: Haji Lumah Ing Jalu yang berarti Sang
Raja dimakamkan di Jalu sama dengan susuh dari (ayam jantan) yang bentuknya
sama dengan Kris maka perkataan Ing Jalu dapat ditafsirkan sebagai petunjuk
Kali Kris atau Pakerisan. Raja yang dimakamkan di jalu dimaksud adalah Raja
Udayana, sedangkan tulisan Rwa Anakira yang berarti Dua Anaknya kemungkinan
yang dimaksud makam Raja Udayana, Anak Wungsu dan Empat orang Permaisuri Raja
serta Perdana Mentri Raja. Diseberang Tenggara atau dari komplek candi ini
terletak Wihara (tempat tinggal atau asrama para biksu / pendeta Budha).
Peninggalan candi dan wihara di Gunung Kawi ini diperkirakan pada abad 11
Masehi. Sementara di Candi Gunung Kawi, setelah menuruni anak tangga sepanjang
400 m, nikmati eksotisnya bangunan candi yang dipahat pada dinding cadas.Ukiran
pahatan yang besar ini terlihat menakjubkan ketika diamati dari jarak beberapa
meter. Candi yang dipercaya sebagai tempat menyimpan abu jenazah beberapa raja
Bali ini memiliki legenda berkaitan dengan pembuatannya, yaitu dibuat sehari
semalam oleh Kebo Iwa dengan menatahkan kuku tangannya yang sakti pada dinding
cadas tersebut. Kebo Iwa sendiri adalah tokoh legenda rakyat Bali yang
digambarkan sebagai orang bertubuh sangat besar dengan kekuatan dan
kesaktiannya yang dipergunakan untuk membela Bali dari serangan musuh. Zaman
Kerajaan Kuno Bali (Pemerintah Bedahulu / Bedulu) Pemerintah Bedahulu atau
Bedulu adalah kerajaan kuno tertua di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad
ke-14, yang dapat tercatat oleh penelitian Kepurbakalaan, Pra-sejarah dan
Sejarah Babad Bali yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca:
Pejeng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan pemerintah ini
diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Penguasa terakhir
kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang ekspansi kerajaan Majapahit pada
tahun 1343, yang dipimpin oleh Gajah Mada, namun berakhir dengan kekalahan
Bedulu. Pertandingan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan
keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347, setelah
itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri
Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan dinasti
Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan
kecil di Pulau Bali.
Raja-raja Bedahulu:
1. Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa -
(882-913)
2. Sri Ugrasena - (915-939)
3. Agni Tabanendra Warmadewa
4. Candrabhaya Singa Warmadewa -
(960-975)
5. Janasadhu Warmadewa
6. Sri Wijayamahadewi
7. Dharmodayana Warmadewa (Udayana) -
(988-1011)
8. Gunapriya Dharmapatni (bersama
Udayana) - (989-1001)
9. Sri Ajnadewi
10. Sri Marakata - (1022-1025)
11. Anak Wungsu - (1049-1077)
12. Sri Maharaja Sri Walaprabu -
(1079-1088)
13. Sri Maharaja Sri Sakalendukirana -
(1088-1098)
14. Sri Suradhipa - (1115-1119)
15. Sri Jayasakti - (1133-1150)
16. Ragajaya
17. Sri Maharaja Aji Jayapangus -
(1178-1181)
18. Arjayadengjayaketana
19. Aji Ekajayalancana
20. Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
21. Parameswara
22. Adidewalancana
23. Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
24. Walajayakertaningrat (Sri Masula
Masuli atau Dalem Buncing?)
25. Sri Astasura Ratna Bumi Banten
(Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
26. Dalem Tokawa (1343-1345)
27. Dalem Makambika (1345-1347)
28. Dalem Madura Sisa peninggalan:
Pertandingan pemerintah Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali
dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap
serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih
memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten
Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was,
Padangbulia di Kabupaten Buleleng. Beberapa obyek wisata yang dianggap
merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung,
Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.
Sumber: http://desapedawa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar