Desa
Trunyan
Desa Trunyan merupakan desa kecil yang
berada di sisi timur Danau Batur. Untuk mencapai Desa Trunyan, kita akan
terlebih dahulu melewati obyek wisata Penelokan. Dari Ibu Kota Propinsi Bali
akan menempuh jarak kurang lebih 65 km / dan dari Ibu Kota Bangli akan menempuh
jarak 23 km. Dari Penelokan, kita dapat memandang indahnya Danau Batur.
Terkadang terlihat perahu boat saat melayani wisatawan dalam setiap
penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan. Sisa-sisa lahar yang membeku
dan berwarna hitam yang tersebar merata hampir di seluruh kawasan menjadi suatu
daya tarik bagi setiap pengunjung. Sedangkan rute obyek yang dilalui,
menghubungkan wisata Kawasan Batur dengan wisata Tampaksiring dan Pura Besakih.
Desa Trunyan merupakan salah satu desa
tertua di Bali yang sering disebut desa bali aga / bali asli yang terletak di
Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Yang merupakan satu - satunya desa
peninggalan Kerajaan Majapahit. Dari ketradisionalnya itu Desa Trunyan sangat
kental dengan budaya. Hal itu terlihat
dari tradisi penguburan mayat yang tergolong unik. Jika dilihat dari letak
geografis Desa Trunyan sebelah utara berbatasan dengan Songan, Timur adalah
kabupaten Karangasem, selatan adalah desa Abang, dan barat adalah Danau Batur.
Asal mula Desa Trunyan / sejarah Desa
Trunyan dibagi menjadi dua versi. Versi
yang pertama menyebutkan bahwa Desa Trunyan berasal dari kata taru dan menyan .
Dimana kata taru artinya kayu dan menyan artinya harum. Kemudian versi yang
kedua, kata Trunyan berasal dari dua kata yaitu kata download dan hyang. Turun artinya turunan / anugrah
sedangkan hyang artinya Ida Bhatara.
Turun hyang maksudnya adalah Desa
Trunyan yang awalnya berasal dari adanya sesuhunan dari Kerajaan Majapahit,
dimana sebelum adanya Desa Trunyan dan
masyarakatnya, Desa Trunyan adalah merupakan sebuah Hutan belantara. Pada zaman
dahulu, dari Kerajaan majapahit tercium bau harum. Sehingga Raja Majapahit
mengutus 5 (lima) abdi untuk menemukan sumber bau harum. Namun hanya satu orang
yang sampai di Desa Trunyan (yang pada saat itu masih berupa hutan belantara)
dan menemukan sumber harum tersebut. Ternyata yang sampai pertama kali adalah
yang menjadi sesembahan Desa Trunyan yang tidak lain adalah Ratu Gede Pancering
Jagat yang dalam bahasa masyarakat Desa Trunyan di sebut " Da Tonta
". Sumber bau harus tersebut
berasal dari gundukan tanah yang menyerupai jamur, sehingga oleh Ratu Gede
Pancering Jagat gundukan tersebut ditutup dengan " saeb ". Namun pada akhirnya gundukan itu tumbuh
mencapai ketinggian kurang lebih 7 meter. Ini merupakan sumber bau harum yang
tercium dari Kerajaan Majapahit yang disebut dengan Ratu Ayu pingit Dalem Dasar. Pada akhirnya
utusan dari kerajaan majapahit ini mempersunting Ratu Ayu pingit Dalem Dasar
sehingga dibuatkanlah pelinggih tumpang tujuh tempat Ratu Gede Pancering Jagat
dan Pelinggih bertumpang tiga tempat
Ratu Ayu pingit Dalem Dasar berstana. Untuk mempringati pernikahan
tersebut maka dipentaskanlah sebuah tarian yang bernama " Barong Brutuk
"yang oleh masyarakat Trunyan menjadi tradisi turun temurun sampai
sekarang.
Barong Brutuk tersebut ditarikan oleh para pria dewasa yang
belum menikah. Setiap keluarga wajib menurut sertakan anak laki - laki yang
telah dewasa namun belum menikah untuk menarikan Tarian Barong Brutuk tersebut.
Dimana tarian ini dipentaskan setiap ada odalan di Pura Pancering Jagat
tersebut yang jatuh pada purnama Kapat . Sebelum mementaskan tarian tersebut,
terlebih dahulu penarinya melakukan upawasa selama tiga hari sebelum pementasan
tersebut dilaksanakan. Oleh masyarakat setempat disebut " mapingit ".
Makna dari kata "Da Tonta"
itu sendiri adalah " Da Tontona ". Da artinya tidak / jangan,
sedangkan Tontona artinya lihat. Sehingga jika dirangkai artinya adalah
"tidak terlihat". Itulah yang menyebabkan da tonta tersebut tidak
bisa dilihat. Masyaraktnya bisa melihat di hari - hari tertentu saja. Yaitu
pada purnama Kapat berbarengan dengan dipentaskannya Tarian Barong Brutuk.
Seperti yang kita ketahui patung da tonta tersebut berada di dalam pelinggih
tumpang tujuh yang merupakan stana Ratu Gede Pancering Jagat. Dan yang bisa
memasuki pelinggih tersebut hanya laki - laki saja. Itulah sejarah desa
Trunyan.
Jika dilihat dari sisi budaya
masyarakat desa Trunyan masih sangat tradisional terutama dari sisi upacara penguburan.
Karena belum banyak terpengaruh dari dunia luar. Menyinggung masalah
penguburan, masyarakat desa Trunyan memiliki tradisi yang sangat unik dalam hal
penguburan jenazah. Desa Trunyan itu sendiri memiliki 4 jenis kuburan yaitu:
1.
Untuk yang meninggal adalah Bayi, maka mayatnya dikubur, lokasinya
disebut Sema Muda, kira-kira 200 meter-an ke sebelah kanan dari sema wayah
2.
Untuk yang meninggal adalah orang yang kecelakaan, dibunuh atau bukan
karena mati normal. Maka mereka anggap itu memiliki kesalahan besar. Lokasi
disebut sema bantas, tempatnya adalah di perbatasan antara desa Trunyan dan
Desa abang. Letaknya Jauh dari desa Trunyan.
3.
Untuk yang mati normal, Mayat mereka diberi kain putih dan hanya
diletakan dibawah Taru menyan [Pohon wangi]. Maksudnya mati normal adalah tidak
punya salah / kesalahan sesuatu, diluar kreteria di atas dan lokasi kuburan ini
disebut sema wayah. Mayat itu diletakan di atas tanah dengan lubang yang sangat
dangkal sekitar 10 - 20 cm. Tujuannya supaya tidak bergeser-geser karena bidang
tanah ditempat itu tidaklah dapat disebut datar. Jumlah maksimum mayat yang
diperkenankan ada di bawah pohon taru menyan adalah 11 mayat. Alasannya adalah
mayat yang ke 12 dan seterusnya, akan berbau. Baunya tempo-tempo ada ...
tempo-tempo tidak. Bisa jadi itu disebabkan keterbatasan bau yang dapat diserap
oleh taru menyan tersebut, yaitu kurang lebih sekitar 11 x 60 kg (asumsi berat
rata-rata mayat) = 660 kg. Sehingga untuk menyerap mayat berikutnya menjadi
tidak maksimal. Meskipun mayat itu mati normal sekalipun, namun jika tidak
sepenuhnya bersih dalam artian bersih dari kesalahan, maka bau mayat akan tetap
ada walaupun tempo-tempo ada dan tempo-tempo tidak. Bukan cuma itu, mayat yang
'ada kesalahan' itu, lebih cepat busuk dari mayat yang lain (rata-rata
pembusukan normal adalah 2 bulanan). Penjelasan mengapa mayat yang menggeletak
begitu saja di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap
terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru menyan
tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk
mayat. Taru berarti pohon, sedang menyan berarti harum. Pohon Taru menyan ini,
hanya tumbuh di daerah ini.
4.
Kuburan ari-ari, tempat yang khusus untuk menaruh ari-ari. Lokasinya
berada diujung timur desa Trunyan. Kuburan ini memiliki keunikan tersendiri.
Ari - ari tersebut diletakkan didalam tempurung kelapa dan diikat dengan daun
lontar kemudian digantung diatas pohon.
Tujuannya tidak lain adalah agar ari - ari tersebut tidak dimakan
binatang. Makna dari tempurung kelapa dan daun lontar tersebut adalah simbol
ketradisionalan masyarakat desa Trunyan. Namun seiring perkembangan zaman
agaknya hal tersebut juga mengalami perubahan, masyarakat tidak lagi
menggunakan serabut kelapa untuk membungkus ari - ari melainkan dengan keresek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar