Desa
Tenganan dan Tradisi Perang Pandan
Desa
Tenganan adalah desa yang sangat tradisional, karena dapat bertahan dari arus
perubahan jaman yang sangat cepat dari pengaruh teknologi, seperti kita ketahui
tempat – tempat wisata di bali berkembang pesat seperti Pantai Kuta, Pantai
Sanur, yang sangat meriah dengan kehadiran Hotel, Pantai, Café, dan kehidupan
malamnya. desa ini juga sering disebut dengan desa Bali Age. desa Tenganan
tidak terpengaruh oleh arus teknologi karena peraturan desa adat /awig-awig
mempunyai peranan yang sangat penting terhadap masyarakat Desa Tenganan. Desa
Tenganan terletak di Kabupaten Karangasem. Luas area desa sekitar 1.500 hektar.
Di desa
ini keturunan juga dipertahankan, dengan sebagian besar warganya menikah antar
sesama warga desa saja. Oleh karena itu Desa Tenganan tetap tradisional dan
eksotik. Tenganan banyak yang menjual hasil kerajinan tangannya ke turis.
Seperti Anyaman bambu, ukir-ukiran, lukisan mini yang diukir diatas daun lontar
yang sudah dibakar, dan ada 1 kerajinan tangan yang paling terkenal yaitu kain
geringsing. Kain ini sangatlah unik karena warna – warna yang terdapat dikain
gringsing ini berasal dari tumbuh-tumbuhan dan memerlukan perlakuan khusus.
Pengerjaannya juga memerlukan waktu yang cukup lama.
Para
penduduk desa sangat ramah dan bersahabat. Kita dapat berkeliling areal desa
dan menyaksikan aktivitas mereka sehari hari. Saat yang paling tepat pada saat
sore hari, karena pada sore hari biasanya penduduk desa Tenganan berkumpul di
depan rumahnya masing-masing, pada saat ini kita dapat menyaksikan dan melihat
tingkah laku dan adat budaya tradisional mereka yang amat kental. Maka tak
heran,saat berada di desa ini kita merasakan suasana yang aman dan damai,
dengan suasana yang begitu eksotik. Namun tak cukup sampai di sana, ada 1
budaya yang unik di desa Tenganan. yaitu Perang Pandan.
Upacara
Perang Pandan adalah upacara yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa
perang) dan para leluhur. Perang Pandan disebut juga mekare-kare. Kegiatan
upacara ritual ini diadakan tiap tahun bulan juni di Desa Tenganan, yang
terletak di 70 km timur Denpasar Bali sekitar 70 menit menggunakan kendaraan
bermotor, desa ini masuk salah satu desa tua di Bali, desa ini disebut Bali
Aga. Lokasi desa ini dikelilingi bukit, sementara bentuk desa sendiri seperti
layak nya sebuah benteng yang hanya memiliki empat pintu masuk dengan sistim
pengasuhan, sehingga lebih memudahkan untuk tahu siapa saja yang datang dan
pergi dari desa tersebut.
Kepercayaan
yang dianut warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga
desa Tenganan memiliki aturan tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun
diwariskan oleh nenek moyang mereka, juga tidak mengenal kasta dan diyakini
Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut
sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur
desa Tenganan. Sementara Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti
yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.
Konon
menurut cerita, pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya diperintah
oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang lalim dan kejam, ia bahkan
menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual
keagamaan, mendengar itu para dewa di surga pun murka, lalu para dewa mengutus
Dewa Indra untuk menyadarkan atau menghancurkan Maya Denawa, dengan cara
mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang atau pemimpin pertempuran.
Melalui pertempuran sengit dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit, akhir
nya Maya Denawa bisa kalahkan.
Upacara
Perang Pandan / Mekare kare ini diadakan 2 hari dan diselenggarakan 1 sekali
dalam setahun pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan merupakan
bagian dari upacara Sasih sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa
Tenganan.Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan balai
pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2
sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun
Pegringsingan), untuk para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang
(Saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.
Perlengkapan
Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada,
sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan. Setiap pria (mulai naik
remaja) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan, panggung
berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa
tali pengaman mengelilingi.
Sebelum
Perang Pandan dimulai, diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk
memohon keselamatan, lalu diadakan ritual minum tuak, tuak dalam di bambu
dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling
menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Kemudian tuak tersebut
dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.
Saat
upacara Perang Pandan akan dimulai, Mangku Widia pemimpin adat di Desa Tenganan
memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan
dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman
rotan di tangan kiri. Penengah layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.
Setelah
penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka
memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka
berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu
menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan. Peserta perang
yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua
pemuda itu saling berangkulan dan memukul sampai jatuh. Penengah memisahkan
keduanya dibantu pemedek yang lain.
Pertandingan
ini tidak bertahan lama. Kurang dari satu menit bahkan. Selesai satu
pertandingan langsung dilanjutkan pertandingan yang lain, Ini dilakukan
bergilir (lebih kurang selama 3 jam).
Seusai
upacara tersebut semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan
kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata
sedih bahkan tangisan pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan
iklas dan gembira. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat
Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang yang dihormati dengan darah lewat
upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum
ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.
Setelah
Perang Pandan selesai kemudian ditutup dengan bersembahyangan di Pura setempat
dilengkapi dengan mempersembahkan / menghaturkan tari Rejang. Adat istiadat
harus kita junjung tinggi karena merupakan citra diri juga melambangkan harga
diri akan suatu negeri. Adat istiadat jangan sampai hilang agar orang tahu dari
mana kita berasal. Bali pulau dewata menampilkan berbagai macam keindahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar