• BALIKU

    BALIKU

    Pulau Bali atau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini sungguh luar biasa pesona keindahannya juga kekayaan budayanya yang masih sangat kental yang melekat pada penduduknya. Tidak heran kalau Pulau Bali sangat terkenal di dunia

    Read More
  • SENI & BUDAYA BALI

    SENI DAN BUDAYA

    Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak amat digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali

    Read More
  • CERITA RAKYAT BALI

    CERITA RAKYAT BALI

    Kumpulan kisah dan legenda masyarakat Bali

    Read More
  • KULINER KHAS BALI

    KULINER KHAS BALI

    Cita rasa dan penampilan masakan Bali sering disebut seeksotis pemandangan pulau dewata itu. Jadi, tak heran jika sejumlah masakan khas Bali pun ikut menjadi ikon pariwisata

    Read More
  • KEUNIKAN BALI

    KEUNIKAN BALI

    Bali memiliki sejuta keunikan, baik bentangan alam maupun budayanya. Salah satu keunikan yang paling kuat adalah corak budayanya yang melekat pada seluruh aspek kehidupan msyarakat Bali

    Read More

Senin, 04 Juni 2012

Desa Tradisional Kapal


Tradisi Perang Tipat-Bantal



Desa Kapal adalah salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya, desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mengwi Badung-Bali ini memiliki berbagai tradisi unik dan menarik yang masih bertahan sampai sekarang, salah satunya adalah pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Tradisi Perang Tipat-Bantal.

Tradisi ini terkait erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, di mana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih Kapat) sekitar bulan September - Oktober.
pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang Tipat-Bantal. Tipat / ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Predhana
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Dalam tradisi ini masyarakat Kapal berkumpul di depan Pura Desa setempat dimana kemudian mereka membagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok tersedia tipat dan bantal sebagai senjata, kemudian kedua kelompok ini saling melempari kelompok yang lain dengan tipat dan bantal ini.

Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini memiliki kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol.
Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi / Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya.

Keberadaan tradisi Perang Tipat â € "Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar-lontar, salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini ada dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut:
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Bali menggantikan kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan memiliki seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada waktu itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.

Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat ketika itu, desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas kondisi ini kemudian Ki Kebo Iwa meminta jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melakukan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare angon dengan sarana menghaturkan tipat - bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana / Energi Feminisme / Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehinggga desa ini makmur dan tentram.

Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar (sekarang dikenal dengan nama Bedulu), sampai akhirnya kemudian Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun Isaka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat â € "Bantal ini di Desa Kapal (+ 666 tahun), salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan dan sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehiduan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini.

Di tengah berbagai krisis global yang terjadi, mulai dari isu pemanasan global sampai krisis pangan di berbagai belahan bumi, tradisi â € "tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita tentang kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan semesta

1 komentar: