NGEREBONG
Tradisi unik di Pura Petilan Kesiman
Bali memang menarik untuk dikunjungi.
Selain memiliki pesona pemandangan alam, Pulau Dewata juga kaya akan tradisi
budaya dan adat istiadat. Tidak heran, karena memang masyarakatnya masih
berpegang teguh pada adat istiadat yang dijadikan sebagai kearifan lokal. Salah
satu tradisi yang menarik adalah Ngerebong yakni sebuah tradisi unik di desa
Pekriman, Kesiman Denpasar. Pura Petilan di Desa Kesiman di bagian timur Kota
Denpasar lebih populer disebut Pura Pengerebongan. Mengapa nama Pura Petilan
itu lebih terkenal dengan nama Pengerebongan. Hal ini disebabkan oleh adanya
upacara Pengerebongan yang umumnya lebih menonjol kegiatannya daripada upacara
keagamaan Hindu lainnya yang dilakukan di Pura Petilan tersebut. Filosofi apa
yang sebenarnya yang ada di balik upacara Pengerebongan itu? Bagaimana
relevansinya dengan kehidupan sekarang?
Pengerebongan ini dilangsungkan
sangat meriah karena melibatkan banyak pihak. Di samping itu, upacara
Pengerebongan ini dipandang sangat unik oleh masyarakat umum utamanya di Kota
Denpasar umumnya dan di daerah Kesiman khususnya. Upacara ini dilangsungkan
pada dina Redite Pon Medangsia, delapan hari setelah hari raya Kuningan.
Sesungguhnya upacara Pengerebongan
merupakan salah satu dari rangkaian upacara pujawali di Pura Dalem Kesiman yang
dilangsungkan pada hari Wreshaspati Wage wuku Sungsang yang bertepatan dengan
hari Sugian Jawa. Pura Dalem Kesiman ini bukan bagian dari Pura Kahyangan Tiga.
Pura Dalem Kesiman ini adalah pura tempat pemujaan keluarga Kerajaan Kesiman.
Istilah ''Dalem'' dalam hal ini
artinya Raja. Meskipun pemujaan kerajaan, masyarakat luas di wilayah kerajaan
pun pada zaman dahulu umumnya selalu diikutsertakan dalam prosesi upacara di
tempat pemujaan keluarga kerajaan.
Setelah upacara pujawali di Pura
Dalem Kesiman ini barulah dilakukan upacara pangaci di Pura Petilan. Rangkaian
upacara di Pura Petilan itu dimulai pada hari Umanis Galungan, upacara tersebut
antara lain upacara Panyekeban, Nyanjan, Pemendakan, Nuwur, Mider Bhuwana,
Mider Gita (marerentengan). Nanda (Nyapu Jagat)
Mawayang-wayang/Malanang-lanang, Maberata. Sebagai penutup upacara
Panyimpenan/Pemendakan, atau Tubuh Agung. Semua rangkaian upacara tersebut
diikuti oleh semua Prasanak Pura Petilan.
Pada hari Soma Paing Wuku Langkir
dilangsungkan upacara Pemendakan di Pura Petilan. Seminggu kemudian barulang
dilangsungkan upacara yang terkenal dengan upacara Pengerebongan. Umumnya umat
Hindu terutama di daerah Kesiman, upacara Pengerebongan ini sangat ditunggu-tunggu.
Umat dapat menikmati upacara ini dari aspek ritual dan spiritualnya, seni
budayanya dan juga kemeriahan aspek sosial psikologisnya.
Menurut buku hasil penelitian Sejarah
Pura yang dilakukan oleh IHD Denpasar tahun 1979 (sekarang Unhi), upacara Pengerebongan
itu adalah tergolong upacara bhuta yadnya atau pacaruan. Kata caru dalam buku
''Samhitaswara'' artinya cantik atau harmonis. Sehingga upacara Pengerebongan
itu bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk
memelihara keharmonisan hubungan antarmanusia dengan Tuhannya, antara manusia
dengan sesama umat manusia dan dengan
alam lingkungannya.
Prosesi upacara Pengerebongan
dilakukan pada hari Redite Pon Medangsia sejak pagi kurang lebih pukul 09.00
waktu setempat dilakukan upacara tabuh rah dengan tiga pasang adu ayam.
Tujuannya untuk membangkitkan guna rajah untuk di-somia atau diharmoniskan agar
patuh dengan arahan guna sattwam. Dengan demikian guna rajah menjadi bersifat
positif memberi semangat untuk kuat menghadapi berbagai gejolak kehidupan.
Selanjutnya para manca dan prasanak
pengerob Pura Petilan di Kesiman dengan pelawatan berupa Barong dan Rangda
semuanya diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti upacara Pengerebongan. Sebelum
ke Pura Petilan didahului dengan upacara penyucian di Pura Musen di sebelah
timur Pura Petilan di pinggir barat Sungai Ayung. Selanjutnya setelah kembali
ke pura barulah upacara Pengerebongan dimulai.
Diawali dengan upacara Nyanjan dan
Nuwur. Tujuan upacara ini untuk memohon kekuatan suci Batara-batari agar turun
melalui pradasar-nya dari para umat dari para manca dan prasanak pangerob. Umum
para pengusung rangsa dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan
Nuwur itu dalam keadaan trance atau di Bali disebut kerauhan.
Selanjutnya semua pelawatan Barong dan
Rangda serta para pepatih yang trance itu keluar dari Kori Agung terus
mengelilingi wantilan dengan cara prasawia tiga kali. Mengelilingi dengan cara
prasawia itu adalah para pelawatan Barong Rangda dan pepatihnya bergerak dari
timur ke utara, ke barat, ke selatan dan kembali ke timur. Terus demikian
sampai tiga putaran.
Saat melakukan prasawia itu, para
pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek itu keris tajam yang
sungguhan, dada para pepatih itu sedikit pun terluka. Kalau sudah acara prasawia
ini selesai semuanya kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran.
Mereka yang trance kembali seperti semula.
Setelah upacara Pengeluwuran itu maka
dilanjutkan dengan upacara Maider Bhuwana Batara-batari para Manca dan Prasanak
Pangerob dengan semua pengiringnya kembali mengelilingi wantilan tiga kali
dengan cara Pradaksina. Mengelilingi dengan cara Pradaksina berlawanan dengan
cara Prasawia tadi. Selanjuntnya upacara mengelilingi wantilan dengan cara
Pradaksina dimulai dari arah timur menuju selatan terus ke barat menuju utara
dan kembali ke timur. Pradaksina ini dilakukan tiga kali sebagai simbol
pendakian hidup dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi menuju
Swah Loka yaitu alam kedewatan. Karena itulah upacara ini disebut upacara Maider
Bhuwana mengelilingi alam semesta. Setelah selesai mengelilingi wantilan dengan
Pradaksina semuanya kembali ke Jeroan Pura.
Adanya prosesi Prasawia dan
Pradaksina dalam upacara Pengerebongan di Pura Petilan Kesiman ini sangat
menarik untuk dipahami makna filosofinya. Prosesi Prasawia bermakna untuk
meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksaan, sedangkan Pradaksina
sebagai simbol untuk menguatkan Dewi Sampad yaitu kecenderungan sifat-sifat
kedewaan. Kalau kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad) berada di bawah
kekuasaan Dewi Sampad maka manusia akan menampilkan perilaku yang baik dan
benar dalam kehidupan kesehariannya.
Upaya menguatkan Dewi Sampad
menguasai Asuri Sampad sering dilupakan orang. Karena itu, upacara
Pengerebongan ini dilangsungkan setiap enam bulan wuku setiap Redite Pon Wuku
Medangsia -- delapan hari setelah hari raya Kuningan.
sumber
:
I
Ketut Wiana, http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/5/17/bd1.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar