• BALIKU

    BALIKU

    Pulau Bali atau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini sungguh luar biasa pesona keindahannya juga kekayaan budayanya yang masih sangat kental yang melekat pada penduduknya. Tidak heran kalau Pulau Bali sangat terkenal di dunia

    Read More
  • SENI & BUDAYA BALI

    SENI DAN BUDAYA

    Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak amat digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali

    Read More
  • CERITA RAKYAT BALI

    CERITA RAKYAT BALI

    Kumpulan kisah dan legenda masyarakat Bali

    Read More
  • KULINER KHAS BALI

    KULINER KHAS BALI

    Cita rasa dan penampilan masakan Bali sering disebut seeksotis pemandangan pulau dewata itu. Jadi, tak heran jika sejumlah masakan khas Bali pun ikut menjadi ikon pariwisata

    Read More
  • KEUNIKAN BALI

    KEUNIKAN BALI

    Bali memiliki sejuta keunikan, baik bentangan alam maupun budayanya. Salah satu keunikan yang paling kuat adalah corak budayanya yang melekat pada seluruh aspek kehidupan msyarakat Bali

    Read More

Sabtu, 10 Maret 2012

PURA PUCAK MANGU

Sejarah Pura Pucak Mangu
Catatan tertulis secara akurat mengenai keberadaan Pura Pucak Mangu sangatlah minim. Hanya ada beberapa petikan lontar yang memuat tentang keberadaan pura ini dan itupun samar. Namun catatan para orang leluhur orang Bali sangat berarti bagi kehidupan masa sekarang dalam rangka mencermati keberadaan pura-pura di pulau Bali yang banyaknya ribuan. Pura Pucak Mangu sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang. Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran. Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.

Letak Geografis
Pura Pucak Mangu terletak di Kabupaten badung sekitar 40 km dari Denpasar yang beriklim normal, curah hujan rata-rata 2135mm pertahun dengan temperature rata-rata 24,2 derajat celcius. Kelemababan rata-rata 92,5 %, dan tekanan rata-rata 1009,6 mm bar dengan penyinaran 65%. Untuk pelestarian maupun pengembangan budi daya kawasan, angka-angka klimatologi sangat diperlukan sebagai dasar kajian analisisnya dari berbagai aspek fisis, chemis dan ekologinya. Pemilihan lokasi pura, pemukiman pedesaan, lahan pertanian dan lahan kehidupan lainnya berbeda dengan nalar sain dan teknologi yang kini dikembangkan. Perwujudan berbentuk arsitektur, pemakaian bahan dan pertimbangan orientasi, dimensi, orientasi, proporsi dan komposisi juga sirkulasi dan sirkulasi dan prosesi. Dan itu juga didasarkan pada angka-angka basement geografi, iklim, geologi, hidrologi dan topografi bentang alam dari lokasi terpilih.
Potensi Pura Pucak Mangu
Adapun potensi yang dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :
a. Struktur Bangunan
Pura Pucak Mangu termasuk salah satu kayangan jagat di Bali yang didirikan sekitar tahun 1555 Isaka atau tahun 1633 dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Pucak Mangu seperti layaknya pura pada umumnya di Bali struktur bangunannya didasarkan pada konsep tri mandala yang terdiri dari tiga halaman yaitu jaba sisi ( halaman luar), jaba tengah ( halaman tengah ) dan jeroan ( halaman dalam ) dengan struktur bangunan khas Bali. Palebahan pura yang paling timur adalah sthana Ida Bhatari Danu atau dikenal dengan Lingga Petak berupa Meru Tumpang Tiga, dimana di bawahnya terdapat batu berwarna merah putih dan hitam. Yang putih berukuran paling besar. Itulah sebabnya disebut Lingga Petak atau Lingga Putih.
Selanjutnya palebahan di sebelah baratnya berupa Meru Tumpang Sebelas sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Mangu. Kedua palebahan ini sedikit terpisah dengan palebahan ketiga dan keempat yang berada di daratan. Palebahan ketiga yang paling luas adalah tempat banyak bangunan suci dengan pelinggih utama berupa Meru Tumpah Tujuh sthana Ida Bhatara Terate Bang. Di tempat ini juga ada Padmasri sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Sangkur dan sebuah Padma Tiga sebagai sthana Tri Purusa. Palinggih yang lain adalah jajaran kamiri yang terdiri dari : Padmasana, Sanggah Kamulan Rong Tiga, Taksu Agung, Meru Tumpang Tiga, Gedong Manjangan Saluang, Gedong beratap pane, lima buah gedong lainnya, sejumlah balai yakni Bale Pasamuan Agung, Bale Paruman Alit, Bale Papelik, Bale Penyucian, Bale Gong dan Bale Kulkul. Sedangkan palebahan keempat berada di jabaan palebahan terbesar sebagai sthana Ida Bhatara Dalem Purwa.
b. Adat-istiadat
Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut. Setiap mengadakan upacara silakukan biasanya diiringi dengan tari-tarian sakral seprti rejang dewa, Baris gede, wayang lemah.
c. Potensi Flora
Pura Pucak mangu terletak di kawasan pegunungan hutan lindung yang kelestariannya masih bisa di pertahankan. Pura ini terletak di kawasan puncak dengan ketinggiam 2.020 meter di atas permukaan laut. Kesuburan dan kandungan hidrologi dari struktur geologi menentukan jenis flora yang tumbuh di kawasannya sebagai habitat sesuai dengan keperlaun hidupnya. Adapun pohon-pohon yang masih dipertahankan terutama di jalur lintasan setapak dan dijadikan taman hutan wisata adalah sebagai berikut seprti anggrek, talas sembung, tedted, paku jukut (sayur), buyung-buyung, uyah-uyah, layah bebek dan berbagai jenis tumbuhan jalar dan juga tumbuhan lekat dari pohon tinggi termasuk tanaman kopi, cengkeh, mangga dan tumbuhan buah-buahan lainnya.
b. Potensi Fauna
Pura Pucak Mangu juga melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk, becica sesapi, lubak, bukal dan semal

PURA BUKIT SINUNGGAL

                                                 PURA BUKIT SINUNGGAL
  Pura Pucak Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara, Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Menurut sejarahnya yang dalam buku "Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti" disusun Ketut Ginarsa, Balai Penelitian Bahasa, Singaraja, 1979, sebelum tahun 914 Masehi pura ini menjadi milik raja yang dipuja masyarakat Bali Utara pada zaman itu.Secara administratif Pura bukit sununggal terletak di desa tajun, kecamatan kubu tambahan, kebupaten buleleng. Seperti namanya, Pura ini terletak di sebuah bukit dengan pemandangan yang asri yang dikenal dengan bukit sinunggal.

   Untuk sampai di lokasi pura bukit sinunggal, kita dapat melalui jalur denpasar –kintamani, pucak penulisan melewati desa dausa menuju ke desa tajun. Jarak pura dari kota Buleleng kurang lebih 30 km dan dari kota denpasar kurang lebih 98 km.Pura ini dulunya bernama hyang bukit tunggal namun masyarakat biasa menyebutkan dengan pura bulit sinunggal. Sebelumnya mandala pura ini cukup sempit dengan pelinggih pelinggih yang sederhana, setelah didakan beberapa pemugaran kini pura tampak indah dan asri.

   Dalam sejarahnya disebutkan bahwa pada abad ke 5 ida bhatara sudah melingga di pura ini yang konon hadir dari Gunung Himalaya, India diiringi Batara Ganesa. Karena itu Ganesa terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu. Didalam prasasti hyang bukit tunggal juga disebutkan bahwa pura bukit sinunggal dulunya disungsung oleh raja raja dari seluruh bali.Pura bukit sinunggal terletak di sebuah bukit, dengan ketinggan kurang lebih 600 m diatas permukaan laut. Untuk sampai di utama mandala pura, kita harus menaiki 113 anak tangga sepanjang kurang 300meter.Menurut penuturan Pemangku Pura, para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus terlebih dahulu membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar, kemudian ke Pura Dasar Bhuwana, tempat melinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit Sinunggal.

   Sebelum sampai di utama mandala, di areal paling bawah, terdapat sebuah candi bentar dengan dua buah apit lawang di kanan kirinya.Di pelataran ini terdapat sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih empulawang, sebagai stana bhtara ratu bagus manik ulap. Sebelum menuju pura utama, hendaknya kita terlebih dahulu menghaturkan sembah di pelinggih ini. Secara sekala, pelinggih ini merupakan penjaga, sebelum memasuki areal tersuci pura.Dari areal ini kita dapat menaiki beberapa buah anak tangga yang akan mengantarakan kita menuju utama mandala. Di tengah perjanan, berdiri sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih lebuh. Fungsi pelinggih ini adalah pengayatan ke bhatara segara.

   Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit, kita akan sampai di areal utama mandala pura bukit sinunggal.Sebelum masuk ke areal utama mandala, di sisi kanan pura berdiri sebuah bangunan terbuka yang berfungsi sebagai wantilan pura. Di sebelah wantilan terdapat sebuah pohon besar, dengan sebuah pelinggih aling aling, yang berfungsi sebagai penjaga.Melewati sebuah candi bentar, kita akan memasuki utama mandala pura bukit sinunggal. Suasana di mandala ini terasa begitu sejuk dan begitu tenang. Naungan beberapa pohon besar, semakin menguatkan kesan sakral kental dengan aroma kesucian.

   Dengan luas sekitar dua puluh are, pelataran utama mandala pura bukit sinunggal dihiasi beberapa buah pelinggih, termasuk pelinggih utama pura.Berada di utama mandala, pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah meru tumpang tuju, yang dikelilingi tembok penyengker. Meru ini merupakan pelinggih pokok pura, stana dari ida ratu pucak sinunggal atau bhatara lingsir, yang bergelar Ida ratu manik astagina, sekaligus merupakan penguasa delapan penjuru mata angin.Adanya tembok penyengker yang mengelilingi meru bukannya tanpa alasan. Jelas ini menunjukkan bahwa tidak semua sembarang orang boleh memasuki areal meru, kesucian hati dan fikiran merupakan syarat mutlak untuk memuja beliau disini.

   Di sebelah meru, berdiri sebuah padma yang merukan lingga stana Ida Hyang Pasupati.
Tepat di depan padma, berdiri sebuah phon beringin besar dengan pelinggih yang ada dibawahnya sebagai stana ratu ayu mas melanting.Di sebelah pohon beringin, berdiri sebuah pelinggih sebagai pengayatan ratu gede dalem ped, dan pelinggih ratu ngurah tangkeb langit atau ratu wayan tebeng.Di sisi kanan meru berdiri beberapa pelinggih sebagai pengayatan sapta dewata yaitu pura lempuyang, besakih, batur, batukaru, andakasa, pucak mangu, dan beratan.Di mandala ini terdapat sebuah arca yang merupakan pengayatan ke segara majapahit.

   Jeroan pura juga dilengkapi oleh beberapa bangunan pelengkap seperti gedong penyimpenan, bale gong, pesamuan dan bale dana punia.Piodalan adalah upacara pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya lewat sarana pemerajan, pura kahyangan dengan ngelinggihang atau ngerekayang dalam hari hari tertentu. Hari piodalan suatu pura terkait dengan upacara peresmian pertama kali atau pemelaspas dan ngenteg linggih.Perhitungan piodalan di pura bukit sinunggal dilaksanakan berdasarkan pawukon dan wewaran, sehingga piodalannya jatuh pada purnamaning kapat, atau saat bulan Oktober. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pemedek tangkil dari berbagai daerah.

   Pura bukit sinunggal merupakan pura dengan masyarakat pangempon yang cukup besar. Pangempon pura ini berasal dari 11 desa, yang ada di kecamatan kubu tambahan, diantaranya adalah dari desa tajun, tunjung, depa, bayad, sembiran, pacung, bangkah, tamblang, tangkid, mangening, dan kelampuak. Di desa tajun sendiri pangempon pura berjumlah hampir 1500 kepala keluarga.Pangempon pura, merupakan penyangga utama pura, baik itu dari upakara dan upacara yang dilaksanakan rutin. Pemugaran pura yang dilaksanakan tahun 1990, merupakan swadaya dari masyarakat pangempon yang menghaturkan dana punia. Pura bukit sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat sacral. Menurut penuturan mangku pura, bila akan terjadi bencana besar dari meru akan memancar sinar merah terang dan beberapa kali telah terbukti.

   Tak heran jika banyak pemedek yang sengaja datang dari jauh untuk dapat tangkil di pura ini. Banyak Pemedek yang datang ke pura ini bermula dari mimpi mimpi. Sebagian datang untuk memohon obat maupun kesejatraan.Masyarakat yang datang ke pura bukit sinunggal berasal dari berbagai kalangan, dari pejabat sampai wisatawan asing yang menerima bisikan dari mimpi. Keberadaan pura bukit sinunggal sangat disucikan oleh masyrakat, ini terbukti dengan tidak diperbolehkannya wisatawan asing memasuki areal pura, kecuali akan melakukan persembahyangan.Pura bukit sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat baik untuk melakukan meditasi, vibrasi suci yang mengalir kuat memancarkan kedamaian di setiap raga yang berada di parahyangan ini.
KAHYANGAN JAGAT PURA AGUNG GUNUNG RAUNG
istaraung1istaraung4
Desa taro adalah sebuah desa dengan keindahan alam dan kehidupan masyarakatnya yang sangat khas. Alam yang asri, udara yang segar menebar pesona bagi siapa saja yang berkunjung ke wilayah ini. Dengan segala keunikannya, desa Taro telah menjadi salah satu tujuan wisata di pulau seribu pura ini. Dibalik geliat kehidupan pariwisata yang berkembang di desa Taro, tersimpan jejak peradaban manusia Bali.
istaraung2Di tempat inilah, pijakan tentang nilai-nilai kebijaksanaan dicetuskan. Adalah Ida Maha Yogi Rsi Markandeya yang berperan penting dalam sejarah manusia Bali. Rsi Markendya bersama para pengikutnya membangun tatanan kehidupan baru. Hal ini berawal dari perjalanan Ida Mahayogi Rsi Markandeya yang mendapatkan wahyu dari Hyang Penguasa Alam ketika melakukan tapa yoga semadhi di Gunung Raung Jawa Timur. Dalam wahyu tersebut, Sang Maha Rsi diperintahkan untuk melakukan menyebarkan agama Hindu kearah timur yakni Bali Puline.
‘’wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaran lemah Sarwada. Sarwada ngaran. Salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markyandya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro……..”

Menurut Nyoman Tunjung Kelian Adat Desa Pekraman Taro Kaja selama berabad abad masyarakat Bali dengan tekun melaksanakan ajaran Mahayogi. Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri Desa Taro berperan penting dalam perkembangan manusia Bali yang bercorak agraris. Ditempat inilah awal mulanya dibangun sistem bercocok tanam dengan irigasi yang dikenal dengan Subak.

Sistem satuan hidup setempat pun dimulai, pola menetap dengan seperangkat aturan atau awig awig. Saat ini dikenal dengan istilah desa adat atau pekraman. unsur Desa Pekraman meliputi Palemahan, Pawongan dan Parhyangan. Kehidupan menetap yang ditunjang oleh Basis Agraris mampu memberi kesejahteraan bagi masyarakat desa Taro. Pawongan dan Palemahan menjadi tatatanan masyakat Bali dalam menjaga hubungan dengan sesamanya. Sementara Parhyangan yang dibangun Maha Yogi adalah Pura Agung Gunung Raung.

Dalam setiap upacara, lembu putih adalah sarana penting dan dipercaya sebagai satu kekuatan yang mampu memberikan energi positif terhadap berlangsungnya rangkaian upacara. Keyakinan bahwa lembu putih merupakan binatang suci milik dewa diiringi dengan perlakuan khusus terhadap binatang tersebut. Misalnya sikap sopan dan hormat, serta sejumlah pantangan untuk mempeker¬jakan, memperjualbelikan, mengkonsumsi daging ataupun susunya. Pelanggaran terhadap hal-hal tersebut diyakini dapat mendatangkan bencana bagi pelakunya.

Kahyangan Jagat Pura Gunung Raung berlokasi di desa Taro Kecamatan Tegalalang Gianyar, berjarak 25 kilometer dari Kota Gianyar atau sekitar 42 kilometer dari Kota Denpasar. Letak Pura Kahyangan ini diantara Dua buah Aliran sungai yaitu Sungai Wos Lanang atau disebut juga Wos Kangin atau Wos Timur, dan wos wadon di sisi barat yang disebut dengan Wos Kauh. Berdekatan dengan Kahyangan Jagat Pura Gunung Raung terdapat pula Pura Sang Hyang Tegal dan Pura Waturenggong di sebelah utara, Pura Sang Hyang Alang dan Sang Hyang Rau diselatan dan Pura Dalem Pingit di sebelah timur. Selain pura-pura besar ini, masih ada puluhan pura kecil lainnya disekitarnya. Seperti kawasan pedesaan pada umumnya, suasana disekitar Pura Kahyangan Jagat Gunung Raung sangat lestari. Disebelah selatan, utara dan timur pura terdapat pemukiman penduduk. Sementara di sebelah barat terdapat hutan Taro yang hingga kini masih dikeramatkan oleh masyarakat desa ini.

istaraung3Pura Agung Gunung Raung mempunyai empat “pemedal” atau gapura, yang disebut dengan mapemedal meempat atau nyatur. Sementara pemedal yang terletak di barat mempunyai fungsi “pemargin” Ida Betara Sesuunan ring Gunung Raung. Disebutkan pada bagian selatan dan utara selain berfungsi “pemargin” Ida Betara Sesuunan ring Gunung Raung, juga dipergunakan sebagai jalan masuk para pemedek yang tangkil ke Pura Gunung Raung. Titi Ugal Agil atau disebut juga dengan Titi Gonggang posisinya berada di depan pemedal untuk pemedek.
Masyarakat sangat mempercayai, apabila ada yang mempunyai keinginan yang kurang baik terhadap Pura ini, energi negatif tersebut akan hilang apabila melintasi pemedal Titi Ugal Agil. Pemedal Agung berada di depan pura menghadap kearah timur. Pemedal ini sangat disucikan, karena merupakan pemargin Ida Sesuhunan di Pura Agung Gunung Raung. Secara turun temurun, masyarakat setempat tidak berani menggunakan perhiasan emas melewati pemedal ini. Selain itu, wanita yang hamil dan menyusui dilarang melewati pemedal ini. Pelinggih utama adalah Pejenengan Mageng Meru Tumpang Telu yang merupakan linggih Ida Betara Sakti Sesuhunan ring Gunung Raung.


Sebuah “Pejenengan Kul Kul “ yang terbuat dari tangkai bunga Pohon Selegui, berada di dekat pelinggih Bale Agung. Dalam setiap pujawali di Pura Agung Gunung Raung, Pejenengan Kul kul ini akan dibunyikan. Pelinggih Bale Agung berada di madya mandala, dengan 24 tiang penyangga. Pelinggih ini berfungsi sebagai tempat melaksanakan musyawarah mengenai kepentingan pura. Beberapa bagian dari material Bale Agung merupakan warisan Ida Maha Yogi Markandeya yang hingga kini tetap berdiri kokoh.

Atas prakarsa pengempon Pura Agung Gunung Raung, yakni desa Pekraman Taro secara bertahap telah melaksanakan perbaikan dan penataan di beberapa bagian Pura. Tahun 2010, keseluruhan Pelinggih termasuk tembok penyengker dan candi telah usai direnovasi. Selama beradad-abad, Pura Agung Gunung Raung tetap berdiri kokoh diatas tanah Bumi Sarwada-Taro, begitu pula yadnya yang pernah digelar di Pura ini. Pada tunggul Pura Agung Gunung Raung menyebutkan Raja Mengwi pernah melaksanakan karya pujawali yang sangat besar dengan melibatkan desa desa di seluruh Bali.

Dengan rampungnya renovasi pelinggih secara keseluruhan, adanya pembacaan tunggul dan prasasti, serta meningkatnya kesadaran umat beryadnya, maka sesuai dengan Paruman Agung Pura Gunung Raung, Pada sasih Kedasa 2011, tepatnya hari rabu wuku Ugu akan dilaksanakan Karya Agung Panca Bali Krama Penyegjeg Jagat. Selaku Yajamana karya adalah Ida Pedanda Geria Aan Klungkung.

Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat yang dilaksanakan di Pura Agung Gunung Raung Desa Pekraman Taro Kaja, tujuannya sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan menghaturkan persembahan dengan iklas. Kahyangan Jagat Pura Agung Gunung Raung/ menjadi saksi sejarah perjalanan kehidupan di Bali. Ketekunan tetua Bali jaman dahulu dengan menanamkan nilai nilai luhur patut diteladani. Semoga dari Desa Taro, dengan pelaksanaan Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat dapat menerangi setiap umat manusia, turut menjaga Jagat Bali

PURA DANGKAHYANGAN PAKUSARI

                                   PURA DANGKAHYANGAN PAKUSARI
     Pura dangkahyangan pakusari terletak di desa mangesta kebupaten Tabanan. Pura ini terletak di sebuah dataran yang berada di tengah tengah sawah wilayah subak kedampal.
Sampai saat ini tak banyak yang tahu mengenai keberadaan pura yang satu ini. Bila dibandingkan dengan pura pura lain yang berada di daerah tabanan seperti pura batukaru, petali ataupun tanah lot, pura pakusari memang belum begitu dikenal. Namun bila dikaji lebih dalam, pura ini merupakan salah satu pura yang berstatus dang kahyangan , yaitu pura-pura pemujaan untuk umum yang dibuat oleh seorang guru suci untuk tujuan-tujuan yang luhur atau pura-pura yang didirikan sebagai rasa terimakasih terhadap jasa-jasa seorang pandita atau guru suci atau yang disebut juga dang guru.

    Pura pakusari terletak di daerah kedampal desa mangesta, kabupaten tabanan, Kurang lebih 13 km dari kota tabanan dan 33 km dari pusat kota denpasar.Untuk sampai di lokasi pura ini dapat ditempuh melalui jalur kota tabanan, menuju penebel. Sampai di pasar penebel belok kekiri menuju mangesta untuk kemudian sampai di lokasi pura yang terletak di daerah pesawahan subak kedampal.Pura pakusari dulunya merupakan tempat yoga semadi seorang guru suci yang bernama Rsi pajarlaku yang datang dari daerah pekalongan jawa tengah.

     Dalam perjalanannya dari jawa beliau mencari tempat tempat yang mempunyai aura dan vibrasi kesucian tinggi untuk melakukan tapa semadi.Setelah lama melakukan darmayatra di pulau bali, sampailah beliau di sebuah daerah yang dikenal dengan nama pakuduwi. Disini beliau menemukan tempat yang tepat untuk melakukan yoga semadi. Sekian lama berdiam di daerah ini, rsi pajarlaku kemudian mendirikan padukuhan atau desa di tempat ini.

    Semakin lama padukuhan ini semakin berkembang, dan beliau rsi pajarlaku kemudian dipercaya sebagai guru suci dan memuput berbagai upacara yang ada di desa ini.Beliau kemudian mendirikan sebuah pura yang bernama pakuduwi. Di pura inilah merupakan sumber tirta suci yang akan digunakan untuk memuput seluruh upacara panca yadnya oleh beliau rsi pajarlaku.Pura inilah yang lambat laun dikenal dengan pura pakusari, yang tidak lain merupakan pura dang kahyangan tempat memuja bhatara siwa atau siwaning jagat.

    Nama pakusari memiliki pengertian luas dan mendalam, paku dapat diartikan panjer atau tengah. Kata ini diambil dalam kaitan bahwa pura ini merupakan pura yang terletak di tengah tengah pulau bali. Sedangkan sari dapat diartikan amerta dimana pura ini diharapkan memberikan amerta atau kemakmuran bagi seluruh masyarakat.Pura dang kahyangan pakusari merupakan areal pura yang cukup luas kurang lebih 40 are, dibagi menjadi tiga mandala sebagai perlambang tri loka.Nista mandala merupakan areal di sekitar pura dengan alam yang masih asri dan dikelilingi persawahan.

    Di mandala berikutnya berdiri beberapa buah bangunan diantaranya adalah bale gong, dan pewaregan suci. Di mandala ini juga berdiri sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih pengayengan yang berfungsi sebagai tempat nuur tirta dalam kaitannya dengan berbagai yadnya.Utama mandala merupakan areal yang paling luas. Disini berdiri beberapa buah pelinggih, termasuk pelinggih utama pura yaitu padmasari tempat memuja bhatara siwa.Di mandala ini juga dilengkapi dengan beberapa buah pesimpangan diantaranya adalah pesimpangan tamblingan, pakendungan, rambut sedana, pesimpangan pucak kedaton, luhur petali dan pesimpangan pucak gunung agung.

    Pelinggih lain adalah pelinggih ratu nyoman , pelinggih saren kauh yang merupakan cikal bakal adanya pura, pelinggih saren kangin, dan jajaran kemulan agung.Utama mandala juga dilengkapi dengan beberapa buah bangunan suci pelengkap seperti bale piyasan, bale semanggen, bale mundak bale agung, bale gedong simpen dan bale pawedaan.Pura dang kahyangan pakusari dalam perjalanannya pernah mengalami proses pemugaran pada tahun 1995 dan pada tahun 2007 telah dilaksanakan upacara ngenteg linggih.Piodalan di pura dangkahyangan pakusari didasarkan atas perhitungan pancawara, saptawara dan pawukon, sehingga piodalan akan berulang setiap 210 hari sekali, tepatnya pada anggarkasih julungwangi.

     Pura dangkahyangan pakusari, merupakan pusat spiriual bagi umat hindu, khususnya bagi umat yang berada di sekitar pura.Pengempon atau penyungsung pura dang kahyangan pakusari terdiri dari 26 desa adat dengan lebih dari 624 kepala keluarga atau 72 tunggalan merajan, yang meliputi seluruh soroh ,Pura dang kahyangan pakusari merupakan pura penyungsungan yang bersifat umum, tidak terbatas pada satu ras atau golongan. Pura ini berfungsi memohon kerahayuan jagat, keamanan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.Pura dang kahyangan pakusari merupakan salah satu pura yang baik untuk melakukan tirta yatra memohon keselamatan, tidak ada salahnya jika kita meluangkan waktu mengunjungi salah satu pura yang didirikan rsi pajarlaku di pura dangkahyangan pakusari.

PURA GOA LAWAH

Pura Goa Lawah



PURA GOA LAWAH
Stana Dewa Maheswara,
Pusat ''Nyegara-Gunung''

     Perjalanan kita ke Klungkung kali ini akan mengunjungi salah satu tempat wisata di Bali dan dikenal juga sebagai pura yang bernilai sejarah, apalagi kalau bukan pura Goa Lawah. Lawah berarti kelelawar. Di Bali Pura Goa Lawah merupakan Pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Pura Goa Lawah di
Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung inilah sebagai pusat Pura Segara (pura laut) di Bali untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menajdi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah.
Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup.
      Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi.
Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama ”Babading Dharma Wawu Anyeneng’ yang isinya menyatakan tentang pendirian beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia. Upacara ini berfungsi sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.
Pura Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan unsur purusa dengan predana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit dengan predana sebagai unsur materi menyebabkan terjadinya penciptaan. Demikiankah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai simbol pradana. Hal ini untuk melukiskan proses alam di mana air laut menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukm Tuhan. Karena itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan dirikan Pura Goa Lawah dan di Gunung Agung dirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia.
Pujawali atau piodalan di Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara Tengahing Segara dan Sang Hyang Basuki dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia. Di jeroan (bagian dalam) Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa.
Ada Gedong Limasari sebagai Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.

                           
                                            Membaca Pertanda Alam
      KEBERADAAN
 ribuan kelelawar berwarna hitam yang menghuni goa di Pura Goa Lawah, itu biasa. Namun, munculnya ular duwe di sela-sela bebatuan dan kelelawar berwarna putih, kuning dan brumbun, tampaknya memendam ribuan misteri yang sulit diungkapkan dengan akal sehat. Munculnya kelelawar, khususnya yang berwarna putih dan ular duwe, biasanya membawa wangsit (pesan) bahwa akan terjadi sesuatu yang menimpa alam, khususnya Bali.


    Kemunculannya merupakan pertanda akan adanya bencana atau kejadian-kejadian, seperti tanah longsor, gempa bumi, pembunuhan, gunung meletus, tsunami, bom dan lain-lain.
Hal itu sudah dibuktikan sejak zaman dulu. Sebagaimana dituturkan Jero Mangku Tirtawan, pemangku pura setempat. Dikatakannya, beberapa tahun lalu, begitu kelelawar putih muncul, berbagai kejadian terjadi, seperti pembunuhan di Klungkung, Karangasem, bunuh diri di berbagai daerah. Termasuk bom Bali, 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 lalu. Bahkan bencana tsunami yang melanda Aceh, itu sudah diprediksi karena munculnya kelelawar putih.
Sebelumnya, ular duwe yang muncul sekilas di celah bebatuan, ditemukan mati tanpa sebab. Percaya atau tidak, pasca-matinya ular duwe tersebut, kemakmuran dan kesuburan alam juga makin terkikis. Dalam konsep Hindu, ular (naga) merupakan dasar bumi yang melilit kura-kura Benawang Nala sebagai sumber panas bumi. Dengan matinya ular tersebut secara mendadak tanpa sebab sebagai nyasa sumber kesuburan alam telah habis.
Beberapa bulannya lagi, masyarakat kembali dikejutkan dengan matinya ular duwe untuk kedua kalinya. Sebelum ular duwe tersebut mati ditandai dengan berjalan ke sana kemari dari pagi kemunculannya sampai siang hari. Tepat siang hari ular itu mati.
Jero Mangku Tirtawan saat itu mengaku was-was. Karena dia memprediksi bakal terjadi pergantian kepemimpinan secara mendadak. Tetapi kejadiannya malah lain. Saat itu terjadi pembunuhan di salah satu di Denpasar.
Sebelum dipralina ular duwe tersebut ditaruh di depan bale pesamuan sambil memohon petunjuk sulinggih untuk melaksanakan upacara pemralina ke segara. Ketika menjelang sore, persiapan upakara pemrelina sudah selesai ada seorang pemedek yang menghalangi pelaksanaan upacara dimaksud sebab menurutnya ular duwe tersebut akan mengeluarkan senjata. Ucapan orang tersebut memang benar pukul 23.00 Wita dari badan ular duwe tersebut keluar pamor. Pamor itu berubah menjadi senjata yang berbentuk dupa mecanggah. Ketika akan siap-siap nganyut ular duwe tersebut, muncul sinar biru mengelilingi Bale Pengaruman Utama Mandala Pura Goa Lawah, seiring hilangnya sinar hujan lebat mengguyur pelataran pura, lalu dilanjutkan dengan nganyut ular duwe ke segara. Pada malam tersebut pemedek berserta Sulinggih menghaturkan guru piduka dan pejati di tempat memrelina ular tersebut, tiba-tiba muncul sinar putih lalu sinar tersebut diam di depan sulinggih kemudian dibawa ke Pura. Setelah di Pura sinar tersebut berubah menjadi senjata berbentuk pasepan.

Selasa, 06 Maret 2012

PURA ULUWATU

PURA LUHUR ULUWATU

PURA LUHUR ULUWATU
          Pura ini merupakan salah satu dari enam buah pura yang berstatus Sad Kahyangan Jagat. la berdiri megah di ujung barat daya Pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut.
            Berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, pura itu mudah dijangkau. Untuk mencapai pura itu kita mesti menempuh jalan aspal yang sudah mulus dari Denpasar ke selatan sekitar 31 km. Mengingat letak pura ini cukup tinggi, maka kita mesti mendaki undakan yang cukup banyak, namun masih bisa dijangkau anak-anak.
            Pura Luhur Ulu Watu terbagi menjadi tiga bagian : Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Pada Utama Mandala terdapat prasada dan palinggih berupa Meru Tumpang Tiga. Di Madya Mandala tidak ada palinggih. Sedangkan pada Nista Mandala bagian selatan yang disebut Dalem Bejurit terdapat antara lain prasada, tempat mokshahnya Danghyang Dwijendra berdampingan dengan monumen berupa dua buah perahu yang dipakai berlayar sewaktu datang ke Pulau Bali.
            Pura ini banyak dikunjungi wisatawan baik luar maupun dalam negeri. Selain itu, pura ini pernah mendapat bantuan dari Korea pada tahun 1989 sebanyak Rp 87.500.000. Di sekitar lokasi pura ini juga dihuni oleh puluhan ekor kera, seperti halnya terdapat di Pura Bukit Sari, Sangeh, atau Pura Pulaki.
Sejarah Luhur Uluwatu
            Sekitar lahun 1115-1130 Masehi di Kediri Jawa Timur memerintahlah seorang raja bernama Parabu Kamesuara I. Raja ini menganut agama Hindu aliran Wisnu. Salah seorang putranya yakni Sri Wira Dalem Kesari, sekitar tahun 1135, dinobatkan sebagai raja di Pulau Bali. Ketika itu beliau berkeraton di Koripan Besakih yang terletakdikakiGunungAgung. Raja ini juga memeluk agama Hindu sebagaimana agama yang dtanul oleh ayahnya di Kediri.
            Pada masa itu telah berada di Bali seorang Purohita dan sastrawan terkenal bernamu Empu Kuturan. Empu Kuturan dalang ke Pulau Buli sekitar tahun 1039 Masehi. Beliau menata kehidupan keagumaan di daerah ini. Saat itu agama Hindu di Bali lerdiri dari herbagai aliran yakni Brahma, Wisnu, Siwa dan Buda. Konsep yang diterapkan Empu Kuluran adalah konsep Rwa Bhineda yang artinya mengkultuskan Hyang Widhi di dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Luhur Akasa dan Sanghyang Ibu Pertiwi. Meskipun demikian, kehidupan beragama di Bali berjalan dengan baik. Di untara satu alirun dengan aliran lainnya hidup rukun dan pulau Bali sangat tenteram dan damai.
            Pada saat itu Raja Sri Wira Dalem Kesari banyak membangun Wihara dan Pertapaan tempat para biksu, purohita dan pandita melaksanakan yoga semadhi dan tapa. Selain itu banyak pula dibangun pura kahyangan untuk orang-orang Bali melaksanakan persembahyangan ke hadapun Hyang Widhi. Pura Kahyungan yang dibangun sebanyak 17 pura antara lain: Pura Batukaru stana untuk Bhatara Mahadewa, Pura Kiduling Kreteg stana untuk Bhatara Brahma, Pura Watumadeg stana Bhatara Wisnu, Pura Gelap stana untuk Bhatara Iswara, Pura Ulu Watu pesimpangan Bhatara Mahajaya dan lain-lainnya. Sedangkan untuk di tingkat desa kuno dibangun sebuah pura yang disebut Pura Penataran yang biasanya terletak di hulu desa sebagai stana Bhatara Luhur Akasa. Kemudian di hilir desa dibangun Pura Dalem yang berfungsi sebagai Kahyangan Wisesa dengan Prajapati dan setranya.
            Konsep mengenai bentuk dan penataan pura di zaman itu jelas merupakan konsep Empu Kuturan yang sampai saat ini masih dapat kita lihat di desa-desa kuno di Bali, Sedangkan di tanah Jawa hanyak pula dibangun tempat pemujaan berupa candi-candi yang disebut prasada. Tempat suci ini berfungsi untuk leluhur yang telahamoring acintia (meninggal dunia), Candi-candi yang terdapat di lanah Jawa ini hampir sama bentuknya dengan candi-candi yang ada di Pulau Bali. Misalnya candi yang ada di Gunung Kawi, Tampaksiring (Gianyar) maupun Candi Loro Jonggrang di Jawa Tengah.
            Demikian juga halnya adanya onggokan-onggokan batu di Ulu Watu di jaman dahulu yang merupakan tempat pemujaan leluhur yang telah amoring acintia,Onggokan batu yang bertumpuk itu telah terbungkus berada di dalarn candi yang disebut prasada yang ada sekarang. Pemugaran ini dilaksanakan sekitar tahun 1980, dipugar dalam bentuk Candi Catur Dwara berlumpang tujuh. Fungsinya, yakni sebagai stana Bhatara Puser Burni yang berada di depan kiri Palinggih Meru Tumpang Tiga.
            Untuk memelihara candi yang berada di Ulu Watu, Raja Sri Wira Dalem Kesari mengambil tanah-tanah bebukitan yang tcrbentang sangat luas di sekitar Ulu Watu. Tanah itu merupakan tanah ubukti" Ulu Watu. Sedangkan sisanya dianugerahkan kepada orang-orang "Wetbet Bali Mula" untuk memelihara candi tersebut baik demi kepentingan spiritual maupun material. Dengan demikian orang-orang yang memperoleh "pecatu" menamakan dirinya "Wong Pecatu". Lambat laun karena adanya para pendatang baru yang menetap di daerah itu terbentuklah sebuah desa adat yang disebut Desa Adat Pecatu.
Dharmayatra Danghyang Dwijendra
            Sekitar tahun 1460-1550 Masehi, saat pemerintahan Dalem Batur Enggong yang berkeraton di Gelgel Klungkung, Pulau Bali memiliki aiam sangat subur. Berkat kepemimpinan Dalem yang arif dan bijaksana, rakyat hidup rukun dan damai. Hampir tidak pernah terjadi permasalahan atau kasus yang berarti di kalangan orang-orang Bali.
Maka sekitar tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang purohita, sastrawan dan rohaniawan bernama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah seorang pendeta Hindu, kelahiran Kediri, Jawa Timur.
            Danghyang Dwijendra pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi seorang putri di Daha Jawa Timur. Di tempat itu pula beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya. Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.
            Setelah didiksa, Danghyang Dwijendra diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon, Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama kbususnya di Pulau Bali. Bila dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan Sumbawa. Konsep penataan kahyangan di Bali adalah konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan. Sedangkan konsep pendahulunya (Empu Kuturan) yakni Rwa Bhineda. Yang dimaksud konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan adalah penjabaran yang nyata dari sifat dan kekuatan Hyang Widhi, yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa. Tri Kahyangan ini dipisah-pisahkan stananya dalam bentuk Kahyangan Desa, Puseh dan Dalem Wisesa dengan Prajapati dan setranya. Hal ini jelas dapat dilihat pada desa "Apanasa" yang telah berintegritas dari sistem pra Majapahit waktu Empu Kuturan menata Pulau Bali dengan sistem baru penataan Danghyang Dwijendra yang mendukung sistem zaman Majapahit,
            Danghyang Dwijendra datang ke Pulau Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai Barat Daya Daerah Jembrana (asal Jimbar + Wana), untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan Dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup daii tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.
            Setelah mengadakan dharmayatra ke pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung Selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Oleh karena sangat gersang dan sulit mencari sumber air, maka tak cocok untuk pertanian.
            Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Ttulah sebabnya tempat kejadian ini disebut "Cangeling" dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang.
            Oleh karena itulah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.
            Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Sasak dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata "tangis"). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
            Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Tidak ada seorang manusia pun di sini. Juga tidak terdengar suara burung. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Pura ini diempon oleh sebuah keluarga dari Banjar Tengah, Desa Adat Pecatu, serta keluarga besar dari Banjar Panti Denpasar.
            Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
            Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik akhir yang mencekam itu, Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk mengaso. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran), Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu.
            Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra rnenyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya pulau Bali, Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dan bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan Iaut, Dengan demikian disebut Ulu Watu. Ulu = kepala dan watu = batu. Tegasnya batu yang berkepala batu.
            Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memangil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Benda itu sampai sekarang masih tersimpan baik di salah satu Griya Brahmana Wangsa di Desa Mas. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Tda Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.
Hubungan dengan Kerajaan Mengwi
            Sekitar tahun 1627 Isaka 1549 Kerajaan Mengwiraja, dengan rajanya yang bergelar I Gusti Agung Putu yang mabhiseka Ida Cokorde Sakli Blambangan mempersunting seorang istri bernama I Gusti Agung Ayu Panji, putri dari raja Buleleng yang bergelar I Gusti Agung Panji Sakti. Dalam rangkaian perkawinannya itu I Gusti Agung Panji Sakti memberikan hadiah berupa "tetatadan gumi" yang merupakan daerah kekuasaan Raja Buleleng. Tatatadan itu berupa kekuasaan wilayah dari Jimbaran sampai ke ujung Selatan Pulau Bali dan daerah Blambangan Jawa Timur. Pada saat pemerintahan Raja Mengwi Ida Cokorde Sakti Blambangan menguasai tanah Jimbaran sampai Ulu Watu, terlihatlah di sekitar Ulu Watu berupa teja gumulunf* (sinar bulat) setiap sore selama beberapa hari. Peristiwa adanya teja gumulung itu dicek kebenarannya dengan mengutus seorang abdi puri Mengwiraja. Ternyata sinar yang memancar setiap sore itu adalah berupa onggokan batu yang membeku di sebelah barat onggokan batu bekas peninggalan raja Sri Wira Dalem Kesari zaman
dahulu.
            Raja Mengwi, setelah mempertimbangkan matang-matang lalu membuat candi yang disebut prasada di onggokan batu itu. Sayang, candi itu tidak bertahan lama, karena hancur akibat goyangan gempa. Namun Raja tidak berputus asa. Sesudah gempa dibangunlah Palinggih Meru Tumpang Tiga dengan menstanakan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Hal inipun tidak bertahan lama pula. Palinggih ini kedapatan sudah jadi abu terbakar beberapa lama kemudian. Oleh karena situasi sudah berubah, maka oleh masyarakat Desa Adat Pecatu pada bekas palinggih itu dibangun kembali tempat pemujaan berupa candi, Ternyata juga tidak bertahan lama karena goncangan gempa. Masyarakat Desa Adat Pecatu kembali membangun Palinggih Meru Tumpang Tiga. Aneh, palinggih ini juga mengalami kebakaran. Namun umat tak menyerah, Setelah peristiwa kebakaran kedua kalinya itu, masyarakat membangun kembali Palinggih Meru Tumpang Tiga. Palinggih stana Danghyang Dwijendra itu masih tegak sampai sekarang.
            Sedangkan di atas batu di mana bekas Danghyang Dwijendra parama moksha dibuatlah sebuah patung berupa seorang pandita, sebagai wujud Danghyang Dwijendra semasih hidup. Tempat ini disebut "Dalem Bejurit" (artinya pertempuran batin Danghyang Dwijendra antara mempertahankan hidup atau mati).
            Di samping sebelah kanan area (simbolis Danghyang Dwijendra), terdapat sebuah batu besar sebagai simbul buah labu besar (buah waluh pahit). Labu itu dijadikan "perahu" oleh Danghyang Dwijendra sewaktu menyeberangi lautan Selat Bali, berangkat dari Blambangan Jawa Timur dan kemudian turun berlabuh di Purancak. Sedangkan di sebelah kiri area itu terdapat pula sebuah batu besar sebagai simbul dari sampan bocor (jukung bocor). Sampan itu bocor karena tak kuat menampung putra-putri Danghyang Dwijendra yang bersama-sama diajak ke Bali.
            Pada lokasi di jeroan pura terdapat:
a.    Palinggih meru tumpang tiga, stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh,                 
b.    Candi alias prasada, stana Ida Bhatara Puser Bumi.
c.    Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Bhuta Raja dan Kala Raja).
d.    Bale piyasan, tempat sesajen persembahan.
Pada lokasi di jaba pura terdapat :
a.    Palinggih Dalem Bejurit (Tepas dan Area), stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.
b.    Meru tumpang kalih, stana Luhur Akasa dan Pratiwi (Rwa Bhineda),
c.    Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Kaia dan Drokala).
d.    Dua buah tajuk kecil (di depan candi bentar), stana Anglurah (Kaia dan Maha Kala).
e.    Bale gendongan/kulkul, stana Bhatara Iswara,
f.     Bale pasiakrana, tempat Dharmatulla.
g.    Bale perantenan, teinpat dapur suci waktu karya,
h.    Wantilan besar, tempat umat berteduh/rapat, dan Iain-lain,
            Demikianlah semenjak Danghyang Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh parama moksha atau disebut "Ngaluhur", Ulu Watu menjadi "LUHUR ULIJ WATU".
Tempat Memuja Dewa Rudra
            Menurut tokoh umat Hindu Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, Pura Luhur Uluwatu adalah tempat suci untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Rudra (juga disebut Batara Agni Maha Jaya), perwujudan kemahakuasaan yang manunggal dari Dewa Tri Murti. Tujuannya, untuk mendapatkan kekuatan agar manusia memiliki kemampuan hidup untuk mencipta, memelihara dan memprahna sesuatu yang sepatutnya diciptakan, dipelihara dan dipralina. Adapun pelinggih sebagai tempat memuja Rudra itu yakni di Meru Tumpang Tiga.
            Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Dalam Lontar Kusuma Dewa disebutkan, tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927. Angka itu diperoleh berdasarkan analisa pintu masuk Pura Luhur Uluwatu yang menggunakan candi Paduraksa yang bersayap, sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan dan di Lamongan Jatim, Di Candi Pura Sakenan tersebut terdapat candra sangkala dalam bentuk resi apit lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk, Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka.
            Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan bahwa Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana. Mengapa disebut Padma Bhuwana, diduga karena pura ini didirikan berdasarkkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsep Sad Winayaka, pura ini statusnya sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan. Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, pura ini didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya dari Padma Bhuwana tersebut.
            Menurut Ida Pedanda Punyatmaja Pidada yang pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat, bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa; Dewa Wisnu di Pura Batur Kintamani, Bangli. Dewa Siwa di Pura Besakih dan Dewa Brahma di Pura Andakasa, Karangasem. Letak pura Luhur Uluwatu konon juga berhadapan dengan ketiga pura tersebut.
            Pada peninggalan purbakala di Sendang Duwur terdapat Candra Sengkala yaitu tanda tahun saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.CandikurungPaduraksabersayap di Sendang Duwur sama dengan candi kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu, Dengan demikian diduga kuat, bahwa Candi Kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada abad XVI.A.

PURA PONJOK BATU

                                                                         

PURA PONJOK BATU                                                                

Pura Ponjok Batu, Penyeimbang Bali Utara
Pura Ponjok Batu merupakan salah satu Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Kahyangan, selain Pura Pulaki di Desa Banyupoh, Gerokgak. Pura ini terletak di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Memang tidak ada data pasti mengenai awal keberadaan pura ini. Namun yang diketahui, keberadaan pura ini tak bisa lepas dari sejarah kedatangan Pendeta Siwa Sidanta yaitu Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh) pada abad ke-15, saat masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
===========================================================
Pura ini memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah masyarakat Julah dan sekitarnya.
Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari
Sistem penguburan menggunakan sarkopah berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar 5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat. Pada zaman perundagian, masyarakat percaya pemujaan roh nenek moyang dan orang-orang yang dihormati, seperti kepala suku atau ketua adat. Seperti halnya tradisi pembuatan mumi di Mesir, Babilonia, Siria dan lainnya.
Sementara menurut kajian efigrafi atau prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M).
Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar.
Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali Utara/Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu.
Danghyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok, setelah menolong seorang bendega atau awak perahu asal Lombok, yang sedang karam di sekitar pantai Ponjok Batu. Dikisahkan, awak perahu itu melihat batu bersinar di tengah laut. Batu didatangi, dibelah. Tetapi kemudian mereka tidak bisa berangkat sampai datang pertolongan dari Danghyang Nirartha. Batu itu hingga kini masih ada di pantai Ponjok Batu.
Sejak kedatangan Danghyang Nirartha,  nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa.
Sementara berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji. Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi seimbang.
Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok Batu meliputi:
1. Padmasana
2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha
3. Pelinggih Ciwa
4. Pelinggih Ganesa
5. Pelinggih Batara Baruna
6. Pelinggih Seluang
7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter
8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)
9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran
10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar
11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)
12. Bale Pesandekan
13. Bale Paselang
14. Bale Ongkara
15. Bale Gegitaan
16. Bale Reringgitan
17. Bale Kulkul
18. Bale Pegat
19. Bale Paninjoan
Sementara menurut pemangku di Pura Ponjok Batu Jro Mangku Ketut Ludri (50) dan Jro Mangku Nengah Widi (37), piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh) yang jatuh 13 Juli 2006. Sedangkan piodalan Purnama Desta nanti pada 12 Mei 2006. Menurut Jro Mangku, pada piodalan Purnama Desta, diikuti pangempon pura ini yaitu warga Desa Adat Bangkah, Tejakula. Sedangkan pada saat piodalan Sasih Kasa, diikuti warga se-Kecamatan Tejakula. Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek tangkil ke pura ini, termasuk para pejabat. “Biasanya banyak yang nunas tamba, melukat dan nunas keselamatan,” ujar Jro Mangku Nengah Widi.
Konsep Nyegara Gunung
Ada tradisi yang ada hingga sekarang dan masih berjalan di wilayah Pura Ponjok Batu. Pura ini memiliki hubungan dengan Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kubutambahan. Setiap ada upacara melasti Ida Batara di Pura Bukit Sinunggal dan Pura-pura lain di Tajun, upacara pemelastian selalu diselenggarkan di Pura Ponjok Batu karena di sana terdapat sumber air tawar yang memiliki kesucian dan dikatakan sebagai air campuhan antara air darat dan laut.
Hubungan antara Pura Ponjok Batu dan Pura Bukit Sinunggal sangat erat. Pura Ponjok Batu sebagai zenit bawah dan Pura Bukit Sinunggak di Tajun sebagai zenit atas. Ini membuktikan adanya keserasian yang kekal antara segara dan gunung. Bali punya nilai spiritual sangat tinggi karena sepanjang pantai Bali Utara, jarak pantai dan gunung sangat berdekatan, sehingga tingkat kesucian segara sama dengan kesucian daerah pegunungan. Karena itu, upacara nyegara gunung dalam upacara pitra yadnya sangat penting dilaksanakan. (ari)
Pura Ponjok Batu
Paropakaranam yesam, jagarti hrdaye satam
Nasyanti vipadas tesam, sampadah syuh pade pade.
(Canakya Nitisastra, XVII.15)
Maksudnya:
Beliau yang selalu dalam hatinya memikirkan kepentingan-kepentingan orang lain, segala kesulitannya musnah dan memperoleh keberuntungan dalam setiap langkahnya.
HATI nurani Resi Vyasa sangat terkesan ikut berbahagia menyaksikan dua ekor induk burung dengan penuh kasih memberikan makan pada anak-anaknya. Curahan kasih sayang induk burung dengan anak-anaknya itu sangat menggetarkan hati Resi Vyasa yang sedang merenungkan keindahan alam di tepi Sungai Gangga. Sejak itu Resi Vyasa sangat ingin berputra agar dapat menyalurkan kasih sayang dengan hati nurani yang suci.
Karena kerinduan yang suci itu Dewa Narada datang pada Resi Vyasa. Dewa Narada menyatakan bahwa kalau Resi Vyasa ingin berputra, hidupnya harus melalui upaya mewujudkan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha. Empat tujuan hidup itu adalah Dharma, Artha, Kama dan barulah dapat mencapai Moksha.
Kalau Resi Vyasa tidak menempuh hidup sukla Brahmacari beliau bisa hidup dengan hanya mencapai Dharma saja terus dapat mencapai Moksha. Sejak itulah Dewa Narada mengajarkan tentang Catur Purusartha pada Resi Vyasa. Dengan Catur Purusartha itulah umat penganut Veda tujuan hidupnya menjadi sangat jelas.
Demikian juga halnya Danghyang Dwijendra ketika sedang menikmati indahnya pemandangan alam berupa lautan yang berpadu dengan daratan dipayungi oleh langit biru di sebuah tanjung di Bali Utara. Pemandangan yang menggetarkan hati nurani sang Pandita itu sekarang terkenal dengan Ponjok Batu.
Danghyang Dwijendra sangat asyik menyaksikan indahnya pemandangan yang menggetarkan batin sang Pandita. Entah berapa lama Danghyang Dwijendra duduk di atas batu yang agak besar di tanjung tersebut. Sebagai seorang Pandita swadharma beliau hanyalah memikirkan kepentingan orang lain atau masyarakat luas agar bisa hidup sejahtera dan bahagia lahir batin.
Hal itulah yang senantiasa selalu dipikirkan sebagai seorang Pandita. Danghyang Dwijendra juga sedang asyik memikirkan untuk meninjau keadaan masyarakat di Sasak (Lombok). Untuk di Bali, Beliau merasa sudah banyak membantu Raja dalam memberikan tuntutan pada masyarakat di Bali.
Saat Beliau melepaskan pandangan ke laut lepas ke arah timur laut, Beliau melihat ada perahu kandas. Tiang layar perahu yang kandas itu patah, bocor dan tali-temalinya patah semua. Awaknya sejumlah tujuh orang juga dalam keadaan pingsan semuanya. Keadaan itu menyebabkan Danghyang Dwijendra naluri kepanditaan Beliau muncul. Beliau sangat iba melihat kenyataan itu dan berusaha memberi pertolongan pada awak perahu yang nasibnya lagi sial itu.
Dengan kekuatan rohani yang sangat mumpuni Danghyang Dwijendra berhasil membuat tujuh awak perahu itu siuman kembali. Tujuh awak perahu itu sangat berterima kasih pada Danghyang Dwijendra atas pertolongan yang Beliau berikan dengan kadar keikhlasan yang amat tinggi itu. Tanpa pertolongan Pandita Sakti itu mereka sangat yakin tidak mungkin bisa hidup kembali.
Tujuh awak perahu itu pun menceritakan asal-usul terjadinya musibah yang menimpa diri mereka. Sesungguhnya mereka sangat yakin tidak mungkin bisa hidup dalam musibah tersebut. Mereka sudah sangat pasrah atas nasib yang menimpa dirinya setelah berbagai usaha dilakukan atas kecelakaan tersebut. Ketujuh orang awak perahu itu menyatakan dirinya dari Sasak.
Dang Hyang Dwijendra menganjurkan agar mereka memperbaiki perahunya dengan seksama sebelum kembali ke Sasak. Tujuh awak perahu itu pun diberikan berbagai petunjuk dalam memahami dan dan mengatasi berbagai persoalan hidup di dunia ini. Semua petunjuk itu di ikuti oleh awak perahu dari Sasak itu.
Setelah beberapa lama awak perahu itu diajak bermalam di daerah Tejakula, Buleleng Utara itu tibalah gilirannya untuk bersiap-siap kembali ke Sasak. Danghyang Dwijendra pun menyatakan ikut karena memang sudah lama beliau niatkan untuk meninjau keadaan masyarakat Sasak. Pagi hari Beliau pun ikut berangkat ke Sasak dan sampai di Sasak dengan selamat.
Batu tempat Danghyang Dwijendra bermeditasi di Bai Utara itu setiap malam mengeluarkan sinar yang sangat ajaib dan menimbulkan vibrasi spiritual yang sangat luar biasa. Karena itu, umat yang datang tidak semata-mata ingin menyaksikan batu-batu yang bersinar saja, tetapi mereka juga bersembahyang pada Hyang Widhi atau karunia itu.
Akhirnya umat mendirikan Pura yang diberi nama Ponjok Batu artinya tanjung batu. Pelinggih utama di Pura Ponjok Batu pada awalnya adalah dalam wujud Sanggar Agung. Pada mulanya Pura Ponjok Batu itu terletak di sebelah selatan jalan dengan areal yang tidak begitu luas.
Pura Ponjok Batu itu kini sudah diperluas dan berada di sebelah utara jalan dari Singaraja menuju Karangasem. Pura Ponjok Batu itu kini sudah jauh lebih megah dan luas sehingga mampu menampung umat yang cukup banyak, terutama saat ada upacara Pujawali atau hari raya keagamaan Hindu lainnya.
Mengapa sampai batu-batu tempat Danghyang Dwijendra bermeditasi dan menolong awak perahu dari Sasak itu bersinar. Hal ini mungkin dapat kita pahami kalau ditinjau dari kacamata spiritual. Seorang Pandita menurut konsep Hindu adalah orang suci yang hidupnya hanya untuk memikirkan dan memperhatikan nasib orang lain. Demikian juga mereka yang ditolong juga sangat berterima kasih dan tulus menerima. Bertemunya dua ketulusan itulah menyebabkan turunnya anugerah Tuhan berupa vibrasi kesucian dalam wujud sinar itu.