PURA ULUN DANU BATUR
Memuja Dewa Kemakmuran di Pura Batur
Aham
bhumim adadam aryaya.
aham
vrsthim dasuse martyaya,
aham
apo anayam vavasana
mama
devaso anu ketam ayam.
(Rgveda
IV.26.2).
Maksudnya:
Aku anugerahkan bumi ini kepada orang yang mulia. Aku turunkan hujan yang
bermanfaat bagi semua makhluk. Aku alirkan terus gemuruhnya air dan hukum alam
yang patut pada kehendak-Ku.
Pura
Besakih disebut Pura Purusa, sedangkan Pura Batur disebut Pura Pradana.
Di
Pura Besakih, Tuhan dipuja untuk menguatkan jiwa kerohanian umat untuk mencapai
kebahagiaan spiritual. Sedangkan di Pura Batur, Tuhan dipuja untuk menguatkan
spiritual umat dalam membangun kemakmuran ekonomi.
Tenang
secara rohani dan makmur secara ekonomi merupakan dambaan universal setiap umat
manusia di dunia ini. Mengapa disebut Pura Purusa dan Predana. Hal ini
diceritakan dalam Lontar Usana Bali. Dalam Lontar Usana Bali itu diceritakan
secara mitologis bahwa Gunung Mahameru di India sangat tinggi hampir menyentuh
langit. Kalau langit sampai tersentuh maka hancurlah alam ini. Karena itu Sang
Hyang Pasupati mengambil puncak Gunung Mahameru di India dengan kedua
tangannya. Bongkahan Gunung Mahameru itu diterbangkan ke Bali. Bongkahan yang
digenggam dengan tangan kanan beliau menjadi Gunung Agung. Sedangkan bongkahan
pada tangan kiri beliau menjadi Gunung Batur. Di Gunung Agung distanakan Sang
Hyang Putra Jaya (Sang Hyang Maha Dewa). Sedangkan di Gunung Batur distanakan
Dewi Danuh. Dewi Danuh itu tidak lain adalah saktinya Dewa Wisnu. Dewa Wisnu
adalah Tuhan sebagai dewanya air untuk kemakmuran makhluk hidup.
Lontar
yang menyebutkan keberadaan Pura Batur ini antara lain Lontar Usana Bali,
Lontar Kusuma Dewa, Lontar Raja Purana Batur. Menurut lontar tersebut Pura
Batur adalah Pura Sad Kahyangan yang tergolong Kahyangan Jagat untuk memuja
Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran. Kahyangan Jagat adalah tempat pemujaan Tuhan
bagi semua umat Hindu.
Dasar
membangun kemakmuran dinyatakan dalam Bhagawad Gita adalah kris, goraksya dan
vanjyam yang artinya pertanian, peternakan dan perdagangan. Kemakmuran tersebut
tidak mungkin terwujud tanpa ada air. Dari airlah stavira (tumbuh-tumbuhan),
janggama (hewan) dan manusia mengembangkan kehidupannya.
Salah
satu tujuan pendirian Sad Kahyangan itu untuk memotivasi umat manusia
melestarikan Sad Kerti membangun kesejahteraan lahir batin. Danu Kerti dan Wana
Kerti adalah dua dari enam unsur Sad Kerti. Air samudera menguap menjadi
mendung. Mendung jatuh menjadi hujan. Air hujan yang turun tanpa ada
tumbuh-tumbuhan akan bablas langsung ke laut.
Kalau
ada tumbuh-tumbuhan sebagai hutan di lahan yang tinggi seperti bukit dan gunung
maka air tersebut akan teresap dengan baik. Air yang diresap oleh hutan itu
akan menjadi danau dan sungai yang terus mengalir tak henti-hentinya.
Demikianlah hukum alam ciptaan Tuhan.
Proses
alam seperti itu harus dipelihara dan dijaga dengan baik oleh umat manusia
dengan arif dan bijak. Air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan kata-kata bijak
adalah tiga ratna permata di bumi menurut Canakya Nitisastra. Kalau air dan
tumtuh-tumbuhan tanpa dikelola dengan kata-kata bijak maka semuanya itu akan
membawa bencana bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi ini.
Memuja
Tuhan sebagai Dewi Danuh, saktinya Dewa Wisnu untuk memelihara tegaknya
eksistensi kata-kata bijak mengelola proses alam itu. Kalau proses alam
tersebut dikelola dengan nafsu keserakahan justru akan membawa bencana bagi
manusia. Perpaduan Pura Ulun Danu Batur, Gunung Batur, Danau Batur dan hutan di
kawasan Kintamani merupakan keindahan yang amat memukau. Upacara keagamaan
Hindu dan sembahyang di Pura Ulun Danu Batur itu hendaknya diarahkan untuk
mencerahkan umat agar menjaga keindahan tersebut.
Keberadaan
Pura Ulun Danu Batur di kawasan Kintamani itu harusnya dijadikan pusat
penguatan jiwa untuk memotivasi umat dalam memelihara lestarinya perpaduan
proses alam yang indah memukau.
Kawasan
tersebut sebagai kawasan resapan air di Bali. Kalau kawasan tersebut rusak maka
salah satu sumber untuk ajegnya alam Bali akan terancam. Jadi, bukan orang
Kintamani dan Bangli saja yang rugi, tetapi Bali secara keseluruhan. Perhatian
kepada Pura Ulun Danu Batur itu tidak boleh berhenti pada proses pemujaan dan
upacara semata. Pemujaan umat ke Pura Ulun Danu Batur harus ditujukan untuk
mendalami dan memahami nilai-nilai universal yang berada di balik Pura Ulun
Danu Batur itu. Salah satu nilai universalnya adalah adanya amanat untuk
menjaga kelestarian air dan hutan di Bali. Sesuai dengan Sarasamuscaya 135,
lakukan Bhuta Hita (alam sejahtra) terlebih dahulu untuk menjamin tercapainya
tujuan hidup dharma, artha dan kama di dunia sekala dan moksha di dunia
niskala.
*
Ketut Gobyah
SEJARAH PURA BATUR
Sebelum
letusan Gunung Batur yang dasyat pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak di
kaki Gunung itu dekat tepi Barat Daya Danau Batur yang merusakkan 65.000 rumah,
2.500 Pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi keajaiban menghentikannya
pada kaki Pura. Orang-orang melihat semua ini sebagai pertanda baik dan
melanjutkan untuk tetap tinggal disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi
seluruh Pura kecuali "Pelinggih" yang tertinggi, temapt pemujaan
kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air danau. Kemudian warga desa
bersikeras untuk menempatkannya di tempat yang lebih tinggi dan memulai tusag
mereka untuk membangun kembali pura. Mereka membawa pelinggih yang masih utuh
dan membangun kembali Pura Batur.
Beberapa
lontar suci Bali kuno menceritakan asal mula Pura Batur yang merupakan bagian
dari "sad kayangan" enam kelompok Pura yang ada di Bali yang tercatat
dalam lontar Widhi Sastra, lontar Raja Purana dan Babad Pasek Kayu Selem. Pura
Batur juga dinyatakan sebagai Pura "Kayangan Jagat" yang disungsung
oleh masyarakat umum.
Sejarah
Pura Batur merupakan persembahan untuk Dewi Kesuburan, Dewi Danu. Dia adalah
Dewi dari air danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur,
mengalir dari satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya, lambat laun turun
ke bumi. Dalam lontar Usaha Bali, salah satu sastra suci yang ditempatkan di pura
itu, ada legenda kuno yang melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.
Legenda tersebut diceritakan sebagai berikut
:
Pada
suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati (Siwa) memindahkan
puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Dibawanya
satu bagian dengan tangan kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya.
Kedua belahan itu dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan
kanannya menjadi Gunung Agung tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (mahadewa
Siwa) dan yang dibawanya dengan tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari
Dewi Danu, Dewi Air Danau. Legenda ini menjadikan Gunung terbesar di Bali dan
dua elemen simbolis "laki-laki dan perempuan" (Purasa dan Pradana)
atau dua asal mula manifestasi dari sumber; Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Identifikasi dan Daya Tarik
Nama
obyek wisata kawasan Batur disesuaikan dengan potensi yang ada yaitu Gunung
Batur dan Danau Batur. Nama Pura Batur berasal dari nama Gunung Batur yang
merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di emong oleh Warga Desa Batur. Sebelum
meletusnya Gunung Batur pada tahun 1917, Pura Batur berada di kaki sebelah Barat
Daya Gunung Batur. Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Batur
ini, maka Pura bersama warga desa Batur dipindahkan di tempat sekarang.
Sisa-sisa lahar yang membeku berwarna hitam, Gunung Batur tegak menjulang,
Danau Batur teduh membiru, merupakan suatu daya tarik bagi setiap pengunjung.
Dari Penelokan dapat memandang birunya Danau Batur dan buih-buih ombak yang
menepi menemani sopir boat saat melayani wisatawan dan penumpang umum dalam
setiap penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan. Para nelayan juga
mewarnai kesibukan di Danau Batur mengail ikan mujair yang hasil tangkapannya
di jual di pasar Kota Bangli, sehingga di Bangli dikenal dengan sate mujairnya
yang merupakan makanan ciri khas Kabupaten Bangli.
Lokasi
Obyek
Wisata Kawasan Batur terletak di Desa Batur, Kecamatan Kintamani Kabupaten
Daerah Tingkat II Bangli. Obyek Wisata Kawasan Batur berada pada ketinggian 900
m di atas permukaan laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang ahri dan
dingin pada malam hari. Untuk mencapai lokasi ini dari Ibu Kota Bangli jaraknya
23 km. Obyek wisata ini dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, karena lokasi
ini menghubungkan kota Bangli dan kota Singaraja. Sedangkan rute obyek,
menghubungkan Obyek Wisata Kawasan Batur dengan Obyek Wisata Tampaksiring dan
Besakih.
Fasilitas
Di
obyek wisata Kawasan Batur sudah tersedia tempat parkir, rumah makan, restoran,
penginapan, toilet, wartel, serta warung-warung minuman dan makanan kecil.
Mengenai fasilitas angkutan umum dan angkutan penyeberangan sudah tersedia.
Kunjungan
Obyek
wisata Kawasan Batur ramai dikunjungi oleh wisatawan Mancanegara dan Nusantara.
Kunjungan yang paling menonjol sekitar bulan Agustus, Desember, saat menyambut
Tahun Baru dan suasana Tahun Baru. Demikian pula pada hari-hari Raya Galungan,
Idul Fitri dan Hari Raya Natal, bahkan sering dikunjungi oleh tamu Negara baik
dari pusat maupun tamu dari luar negeri.
Deskripsi
Sumber-sumber
yang menyebutkan tentang Batur adalah Lontar Kesmu Dewa. Lontar Usana Bali dan
Lontar Raja Purana Batur. Disebutkan bahwa Pura Batur sudah ada sejak jaman
Empu Kuturan yaitu abad X sampai permulaan abad XI. Luasnya areal dan banyaknya
pelinggih-pelinggih maka diperkirakan bahwa Pura Batur adalah Penyiwi raja-raja
yang berkuasa di Bali, sekaligus merupakan Kahyangan Jagat. Di Pura Batur yang
diistanakan adalah Dewi Danu yang disebutkan dalam Lontar Usana Bali yang
terjemahannya sebagai berikut : Adalah ceritera, terjadi pada bulan Marga Sari
(bulan ke V) waktu Kresna Paksa (Tilem) tersebutlah Betara Pasupati di India
sedang memindahkan Puncak Gunung Maha Meru dibagi menjadi dua, dipegang dengan
tangan kiri dan kanan lalu dibawa ke Bali digunakan sebagai sthana Putra beliau
yaitu Betara Putrajaya (Hyang Maha Dewa) dan puncak gunung yang dibawa tangan kiri
menjadi Gunung Batur sebagai sthana Betari Danuh, keduanya itulah sebagai
ulunya Pulau Bali. Kedua Gunung ini merupakan lambang unsur Purusa dan Pradana
dari Sang Hyang Widhi. Pura Batur merupakan tempat Pemujaan Umat Hindu di
seluruh Bali khususnya Bali Tengah, Utara dan Timur memohon keselamatan di
bidang persawahan. Sehingga pada saat puja wali yang jatuh pada Purnamaning ke
X (kedasa) seluruh umat terutama pada semua kelian subak, sedahan-sedahan
datang ke Pura Batur menghaturkan "Suwinih". Demikian kalau terjadi
bencana hama.
Dari
Blandingan sampai Penglipuran
PURA
Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli sebagai pura banuwa disembah oleh empat
puluh lima desa di Bali, dengan Desa Batur sebagai penanggung jawab utamanya.
Keempat puluh lima desa tersebut wajib mengeluarkan bahan upacara yang disebut
atos. Pemuja ini terjadi karena perjalanan Ida Bhatari Dewi Danu ke desa-desa
di sekitarnya.
Dikisahkan,
Ida Bhatara Indra memberikan putra kedua tirta yang disebut Mas Manik Mampeh
yang menjadi aset wisata di sekitar Danau Batur. Jalannya melewati Desa Songan,
Kintamani, Bangli. Air ini sangat besar namun karena diberi pesan oleh Bhatara
Indra tak boleh dimanfaatkan oleh orang Batur, maka Ida Bhatari Dewi Danu (I
Ratu Ayu Mas Membah) berniat menjualnya. Semula yang akan menjual adalah
putranya.
''Ibu
hamba khawatir karena Ibu seorang putri tentunya akan banyak halangan, biarlah
nanda yang menjualnya,'' kata putranya. ''Oh nanda jangan khawatir, ibu bisa
menjaga diri,'' jawab Dewi Danu. Seketika Beliau berubah wujud menjadi seorang
tua laki-laki yang sudah renta dan badannya penuh dengan luka, kudisan. ''Nah
nanda adakah yang akan mengetahui ibu?''
Demikianlah
Beliau menuju arah timur laut, sampai pada sebuah dataran tinggi sambil memikul
air dalam dua buah labu pahit. Beliau tiba di dataran Bubung Kelambu, di sana beliau
istirahat. Karena ragu airnya sejak tadi tumpah waktu dipikul, Beliau
mengeluarkan airnya, dan memancur dari labunya, sehingga tempat itu diberi nama
Tirta Mas Manik Mancur. Letaknya di sebelah barat Desa Blandingan.
Perjalanan
dilanjutkan dan Beliau tiba di Desa Munti Gunung. ''Tuan, tuan yang ada di desa
ini, saya menjual air, apakah tuan sudi membelinya?'' Penduduk Munti Gunung
merasa jijik melihat Beliau yang pebuh kudisan dan baunya menusuk hidung sangat
busuk. Lalu mereka berkata, ''Ah siapa sudi membeli airmu, kamu saja seperti
pengemis, dan baumu sangat busuk. Bagaimana dengan airnya, tentunya juga busuk.
Sana kamu pergi jangan di sini mengemis''.
''Oh
kamu orang Munti Gunung, kamu sekalian tidak tahu Aku ini Bhatari Batur menjual
air, dan kamu telah menghina Aku sebagai pengemis. Semoga nanti kamu sekalian
sangat sulit hidupmu dan hanya akan hidup dari mengemis''. Begitulah, sampai
saat ini penduduk Munti Gunung selalu meresahkan Denpasar dengan gayanya mengemis
serta menjadi ''peminta-minta di jalan perempatan''.
Selanjutnya,
Dewi Danu menjajakan air dari Batu Ringgit menuju ke barat. Namun satu desa pun
tak ada yang mau membelinya dengan dalih pedagangnya sangat menjijikkan, serta
mereka menyatakan sudah dekat dengan laut, mudah mencari air.
Tiba
di Desa Les, Dewi Danu kembali menjajakan airnya. ''Tuan, tuan apakah tuan ada
niat membeli air, saya menjual air''. Penduduk Les merencanakan membeli dengan
dua kepeng, namun baru membayar satu kepeng. Itu pun dengan jalan menggadaikan
sabit besar (tah). ''Nah Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, dan air ini
berilah nama Toya Mampeh, dan tuan hendaknya menggantinya setiap tahun ke
Batur''.
Sejak
itu, setiap tahun pada Purnama Kedasa Desa Adat Les ngatos ke Batur berupa
beras, babi, ayam aduan (uran akembaran) serta bahan lainnya sesuai dengan
permintaan dari Penghulu Setimaan Batur. Di Desa Tejakula yang semula sebagai
tempat buangan, Beliau menjual airnya dengan dua kepeng, serta dibayar dengan
kerbau, dan selanjutnya, penduduk berminat membeli dengan tiga kepeng,
karenanya beliau mengambil airnya sampai ke dasar labu, akibatnya kotoran labu
dan jentik pun ikut dalam gayungnya. Penduduk lantas dikutuk ''agar sumurnya
dalam dengan sebutan Buhun Dalem -- Bondalem''.
Perjalanan
menuju ke barat dan di Pantai Ponjok Batur airnya dituangkan sedikit, sehingga
di sana ada mata air yang jika air laut surut airnya kelihatan. Sampai di satu
tempat dan semua airnya dituangkan serta dikutuk: ''semoga air ini tak bisa
dijadikan air pertanian, dan air ini agar irit (inih) sehingga tempat itu
menjadi Air (Sangat) Inih -- Air Sanih.
***
DEWI
Danu kemudian berganti rupa kembali menjadi seorang putri yang sangat cantik
dan telah tiba di sekitar perbatasan Kubu Tambahan. Beliau menjunjung bambu
kecil dan berkata pada penduduk, ''Tuan, tuan di Kubu Tambahan apakah tuan mau
membeli kerbau, saya menjual kerbau''. ''Ah ada-ada saja kamu mengatakan
menjual kerbau, mana kerbaumu?'' ''Ini tuan kerbaunya saya tempatkan pada bambu
yang saya jungjung,'' sahut Dewi Danu.
Mereka
merasa ditipu, mana mungkin kerbau ada dalam sepotong bambu. Lalu, bambunya
dirampas, dan dilihat ternyata di dalamnya kelihatan kerbau beberapa ekor,
berkeliaran dalam bambu. Bambunya di balik, keluarlah beberapa ekor kerbau.
Pemuka adat Kubu Tambahan dan Bungkulan mengusir kerbau tersebut, sehingga lari
tunggang langgang melampaui beberapa desa seperti Penarukan, Banyuning, Swan,
Jinengdalem, Kerobokan, dan sekitarnya.
Setelah
sore Dewi Danu memanggil kerbaunya, namun seekor yang paling besar dipotong
oleh penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan, dagingnya dibagi rata. Bhatari Batur
lantas mengutuk: ''Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, nanti semua desa yang
bekas diinjak kerbauku harus membayar ke Batur, dan tuan penduduk Kubu Tambahan
dan Bungkulan yang memotong kerbauku harus menggantinya secara bergilir ke
Batur dengan kerbau hidup.'' Begitulah, Kubutambahan dan Bungkulan secara
bergantian membayar kerbau ke Batur, dan semua desa yang dilewati beliau dan
bekas injakan kerbaunya sebagai pemuja Pura Ulun Danur Batur.
Dewi
Danu atau Ida Bhatari Batur kembali ingin menambah wewidangan-nya dan Beliau
berganti rupa menjadi gadis desa sangat cantik sambil berjualan gantal pada
sabungan ayam di Kehen. Waktu itu, Ida Bhatara Kehen melihat beliau dalam
hatinya berkata: ''Ah kenapa ada dagang gantal sangat cantik, kalau ini
kujadikan istri sangat cocok sebagai penguasa''. Dagang tersebut didekati:
''Putri cantik kiranya tak cocok berdagang, bagaimana kalau Anda saya ambil
menjadi istriku''. ''Mohon maaf, saya tak bisa menikah,'' sahut Bhatari Batur.
''Ah mana mungkin ada orang tak boleh menikah,'' kata Ida Bhatara Kehen. Lalu
Bhatari Batur diperkosa.
''Hai
tuan penguasa Kehen, kiranya tuan tak tahu siapa Aku, coba sekali lagi tuan memperkosa
saya,'' tantang Bhatari Batur. Karena jengkel kembali Beliau mau diperkosa,
mendadak Bhatari Batur berkata: ''Tuan Aku ini Bhatari Batur. Tuan sangat
sombong baru di tempatmu, sekarang semoga ada gunung yang membuang air Danau
Batur agar tak sampai ke Bangli''. Mendadak di selatan kota terbentang gunung
yang membujur dari barat ke timur menutup aliran air Danau Batur. ''Ah, kamu
baru bisa begitu saja sudah sombong, aku juga bisa,'' kata Ida Bhatara Kehen.
Beliau lantas berkata: ''Semoga ada belut besi, kepiting besi yang melubangi
gunung tersebut''. Benar saja, mendadak gunung tersebut dilubangi oleh belut
besi dan kepiting besi yang saat ini tersimpan di Trunyan.
Akhirnya,
Bhatari Batur kembali ke Batur. Namun sebelumnya mereka sama-sama mengutuk.
''Nanti jika Bhatari melewati daerahku engkau akan aku denda,'' kata Bhatara
Kehen. ''Ya aku akan membayarnya, tetapi Aku juga mengutuk semua orang Bangli
yang memiliki genta, harus membayar denda ke Batur,'' kutuk Bhatari Batur.
Sampai
kini kutukan tersebut tetap berlaku, dan karena gagal mempersunting Bhatari
Batur, Bhatara Kehen mengambil ''istri penawing'' ke Penglipuran.
*
Jro Mangku I Ketut Riana
Sumber: www.babadbali.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar