SEJARAH PURA TIRTA EMPUL – TAMPAKSIRING
Tirta
Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak
Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di
Tampak Siring yang dulu dibangun oleh presiden Soekarno. Pura Tirta Empul
terkenal karena terdapat sumber air yang hingga kini dijadikan air suci untuk
melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali, tak jarang wisatawan yang
berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat.
Nama
Tirta Empul termuat dalam sebuah prasasti yang disimpan di Pura Sakenan, Desa
Manukaya, Tampak Siring. Dalam
dijelaskan Tirta Empul dinamakan “Tiertha ri air hampul” yang lama kelamaan
berubah menjadi Tirtha Hampul sampai akhirnya menjadi Tirtha Empul. Tirtha ri air hampul maksudnya adalah “Patirthaan yang airnya menyemburl
atau kolam suci yang airnya menyembur” Pura Tirta Empul ini juga merupakan
salah satu situs peninggalan sejarah di Bali khususnya Gianyar. Oleh karena itu
pula, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan sebuah Istana
Presiden tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring. Para presiden
Indonesia yang datang ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana
Presiden Tampak Siring tersebut.
Saat
ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat melukat tersebut merupakan salah satu
lokasi wisata unggulan di kabupaten Gianyar. Diperkirakan nama Tampaksiring
berasal dari (bahasa Bali) kata tampak yang berarti "telapak" dan
siring yang bermakna "miring". Makna dari kedua kata itu konon
terkait dengan sepotong legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah daun
lontar, yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki
seorang raja bernama Mayadenawa.
Dalam
lontar usana Bali diceritakan bahwa Tirtha Empul diciptakan oleh Batara Indra
dalam peperangannya dengan Mayadenawa Raja Mayadenawa memiliki asisten (Patih)
yang disebut Kalawong. Mereka melarang orang untuk melakukan Yadnya (berdoa
kepada dewa) sehingga sering terjadi bencana alam, wabah penyakit, pertanian
gagal dan akhirnya sengsara kehidupan masyarakat. Menurut lontar
"Mayadanawantaka", raja ini merupakan putra dari Bhagawan Kasyapa
dengan Dewi Danu. Namun sayang, raja yang pandai dan sakti ini memiliki sifat
durjana, berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan. Terlebih ia
mengklaim dirinya sebagai Dewa yang mengharuskan rakyat untuk menyembahnya.
Alkisah,
lantaran tabiat buruk yang dimilikinya itu, lantas Batara Indra marah, kemudian
menyerbu dan menggempurnya melalui bala tentara yang dikirim. Sembari berlari
masuk hutan, Mayadenawa berupaya mengecoh pengejarnya dengan memiringkan
telapak kakinya saat melangkah. Sebuah tipuan yang ia coba tebar agar para
pengejar tak mengenali jejaknya. Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia
bisa berubah-ubah wujud atau rupa.
Namun,
sepandai-pandai ia menyelinap, tertangkap juga oleh para pengejarnya, kendati
-- sebelumnya -- ia sempat menciptakan mata air beracun, yang menyebabkan
banyak bala tentara menemui ajal usai mandi dan meminum air itu. Lantas sebagai
tandingan, Batara Indra menciptakan mata air penawar racun itu. Air penawar
itulah yang kemudian disebut dengan Tirta Empul (air suci). Sedangkan kawasan
hutan yang dilewati Mayadenawa -- dengan berjalan memiringkan telapak kakinya
-- dikenal dengan sebutan Tampaksiring.
Air
Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat
beberapa peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960
A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa
pura – pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura
(HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada
Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam
tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap
ke Selatan.
Masing
– masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya
pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu
pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dalam
mitologi itu diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan
tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara – upacara keagamaan untuk
mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui
oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang
Mayadenawa.
Akhirnya
Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah disebelah Utara Desa
Tampak siring. Akibatnya kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air
Cetik (Racun) yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur
akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan
tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah (Tirta Empul) dan air Suci ini
dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi
seperti sedia kala.
Permandian
Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha
Warmadewa, dan hal ini dapat diketahui dari adanya sebuah piagam batu yang
terdapat di desa Manukaya yang memuat tulisan dan angka yang menyebutkan bahwa
permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, sekitar
Oktober tahun 962 Masehi.
Sedangkan
Pura Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli berkuasa
dan memerintah di Bali. Hal ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali.
Isi dari lontar itu disebutkan artinya sebagai berikut:
"Tatkala itu senang hatinya orang Bali semua,
dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa gembira,
semua rakyat sama-sama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan lainnya,
seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring".
Dalam
Prasasti Sading ada disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun
I€aka 1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada
perbedaan waktu sekitar 216 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul
dengan pembangunan puranya.
Selain data efigrafi di Pura Tirtha Empul juga ditemukan peninggalan arkeologi seperti :
Lingga Yoni
Yang terletak pada halaman II (Jaba tengah) diatas sebuah altar,
lingga yoni merupakan symbol pemujaan Dewa Siwa bersama saktinya Dewi Parwati
untuk memohonkan kesuburan pertanian
Arca Singa
Dalam mitologi Hindu Singa adalah kendaraan Dewi Durga dalam
pengejaran raksasa Raktawija.
Tepasana
Adalah bangunan yang berupa pelinggih pada mulanya hanya berupa teras,
namun telah dilakukan restorasi pada tahun 1967 masehi. Tepasana ini merupakan
Dewa Indra yang telah menciptakan Tirtha Empul.
Kolam Tirtha Empul
Kolam dengan luas 15 X 50 meter ini dialirkan kea rah hilir melalui
beberapa pancuran yang digunakan sebagai tirtha dalam upacara ritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar