-
BALIKU
BALIKU
Pulau Bali atau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini sungguh luar biasa pesona keindahannya juga kekayaan budayanya yang masih sangat kental yang melekat pada penduduknya. Tidak heran kalau Pulau Bali sangat terkenal di dunia
Read More -
SENI & BUDAYA BALI
SENI DAN BUDAYA
Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak amat digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali
Read More -
CERITA RAKYAT BALI
-
KULINER KHAS BALI
KULINER KHAS BALI
Cita rasa dan penampilan masakan Bali sering disebut seeksotis pemandangan pulau dewata itu. Jadi, tak heran jika sejumlah masakan khas Bali pun ikut menjadi ikon pariwisata
Read More -
KEUNIKAN BALI
KEUNIKAN BALI
Bali memiliki sejuta keunikan, baik bentangan alam maupun budayanya. Salah satu keunikan yang paling kuat adalah corak budayanya yang melekat pada seluruh aspek kehidupan msyarakat Bali
Read More
Selasa, 06 Maret 2012
PURA ULUWATU
PURA PONJOK BATU
PURA PONJOK BATU
Pura Ponjok Batu, Penyeimbang Bali UtaraPura Ponjok Batu merupakan salah satu Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Kahyangan, selain Pura Pulaki di Desa Banyupoh, Gerokgak. Pura ini terletak di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Memang tidak ada data pasti mengenai awal keberadaan pura ini. Namun yang diketahui, keberadaan pura ini tak bisa lepas dari sejarah kedatangan Pendeta Siwa Sidanta yaitu Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh) pada abad ke-15, saat masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.===========================================================Pura ini memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah masyarakat Julah dan sekitarnya.Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dariSistem penguburan menggunakan sarkopah berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar 5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat. Pada zaman perundagian, masyarakat percaya pemujaan roh nenek moyang dan orang-orang yang dihormati, seperti kepala suku atau ketua adat. Seperti halnya tradisi pembuatan mumi di Mesir, Babilonia, Siria dan lainnya.Sementara menurut kajian efigrafi atau prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M).Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar.Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali Utara/Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu.Danghyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok, setelah menolong seorang bendega atau awak perahu asal Lombok, yang sedang karam di sekitar pantai Ponjok Batu. Dikisahkan, awak perahu itu melihat batu bersinar di tengah laut. Batu didatangi, dibelah. Tetapi kemudian mereka tidak bisa berangkat sampai datang pertolongan dari Danghyang Nirartha. Batu itu hingga kini masih ada di pantai Ponjok Batu.Sejak kedatangan Danghyang Nirartha, nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa.Sementara berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji. Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi seimbang.Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok Batu meliputi:1. Padmasana2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha3. Pelinggih Ciwa4. Pelinggih Ganesa5. Pelinggih Batara Baruna6. Pelinggih Seluang7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)12. Bale Pesandekan13. Bale Paselang14. Bale Ongkara15. Bale Gegitaan16. Bale Reringgitan17. Bale Kulkul18. Bale Pegat19. Bale PaninjoanSementara menurut pemangku di Pura Ponjok Batu Jro Mangku Ketut Ludri (50) dan Jro Mangku Nengah Widi (37), piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh) yang jatuh 13 Juli 2006. Sedangkan piodalan Purnama Desta nanti pada 12 Mei 2006. Menurut Jro Mangku, pada piodalan Purnama Desta, diikuti pangempon pura ini yaitu warga Desa Adat Bangkah, Tejakula. Sedangkan pada saat piodalan Sasih Kasa, diikuti warga se-Kecamatan Tejakula. Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek tangkil ke pura ini, termasuk para pejabat. “Biasanya banyak yang nunas tamba, melukat dan nunas keselamatan,” ujar Jro Mangku Nengah Widi.Konsep Nyegara GunungAda tradisi yang ada hingga sekarang dan masih berjalan di wilayah Pura Ponjok Batu. Pura ini memiliki hubungan dengan Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kubutambahan. Setiap ada upacara melasti Ida Batara di Pura Bukit Sinunggal dan Pura-pura lain di Tajun, upacara pemelastian selalu diselenggarkan di Pura Ponjok Batu karena di sana terdapat sumber air tawar yang memiliki kesucian dan dikatakan sebagai air campuhan antara air darat dan laut.Hubungan antara Pura Ponjok Batu dan Pura Bukit Sinunggal sangat erat. Pura Ponjok Batu sebagai zenit bawah dan Pura Bukit Sinunggak di Tajun sebagai zenit atas. Ini membuktikan adanya keserasian yang kekal antara segara dan gunung. Bali punya nilai spiritual sangat tinggi karena sepanjang pantai Bali Utara, jarak pantai dan gunung sangat berdekatan, sehingga tingkat kesucian segara sama dengan kesucian daerah pegunungan. Karena itu, upacara nyegara gunung dalam upacara pitra yadnya sangat penting dilaksanakan. (ari)Pura Ponjok BatuParopakaranam yesam, jagarti hrdaye satam
Nasyanti vipadas tesam, sampadah syuh pade pade.
(Canakya Nitisastra, XVII.15)Maksudnya:Beliau yang selalu dalam hatinya memikirkan kepentingan-kepentingan orang lain, segala kesulitannya musnah dan memperoleh keberuntungan dalam setiap langkahnya.HATI nurani Resi Vyasa sangat terkesan ikut berbahagia menyaksikan dua ekor induk burung dengan penuh kasih memberikan makan pada anak-anaknya. Curahan kasih sayang induk burung dengan anak-anaknya itu sangat menggetarkan hati Resi Vyasa yang sedang merenungkan keindahan alam di tepi Sungai Gangga. Sejak itu Resi Vyasa sangat ingin berputra agar dapat menyalurkan kasih sayang dengan hati nurani yang suci.Karena kerinduan yang suci itu Dewa Narada datang pada Resi Vyasa. Dewa Narada menyatakan bahwa kalau Resi Vyasa ingin berputra, hidupnya harus melalui upaya mewujudkan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha. Empat tujuan hidup itu adalah Dharma, Artha, Kama dan barulah dapat mencapai Moksha.Kalau Resi Vyasa tidak menempuh hidup sukla Brahmacari beliau bisa hidup dengan hanya mencapai Dharma saja terus dapat mencapai Moksha. Sejak itulah Dewa Narada mengajarkan tentang Catur Purusartha pada Resi Vyasa. Dengan Catur Purusartha itulah umat penganut Veda tujuan hidupnya menjadi sangat jelas.Demikian juga halnya Danghyang Dwijendra ketika sedang menikmati indahnya pemandangan alam berupa lautan yang berpadu dengan daratan dipayungi oleh langit biru di sebuah tanjung di Bali Utara. Pemandangan yang menggetarkan hati nurani sang Pandita itu sekarang terkenal dengan Ponjok Batu.Danghyang Dwijendra sangat asyik menyaksikan indahnya pemandangan yang menggetarkan batin sang Pandita. Entah berapa lama Danghyang Dwijendra duduk di atas batu yang agak besar di tanjung tersebut. Sebagai seorang Pandita swadharma beliau hanyalah memikirkan kepentingan orang lain atau masyarakat luas agar bisa hidup sejahtera dan bahagia lahir batin.Hal itulah yang senantiasa selalu dipikirkan sebagai seorang Pandita. Danghyang Dwijendra juga sedang asyik memikirkan untuk meninjau keadaan masyarakat di Sasak (Lombok). Untuk di Bali, Beliau merasa sudah banyak membantu Raja dalam memberikan tuntutan pada masyarakat di Bali.Saat Beliau melepaskan pandangan ke laut lepas ke arah timur laut, Beliau melihat ada perahu kandas. Tiang layar perahu yang kandas itu patah, bocor dan tali-temalinya patah semua. Awaknya sejumlah tujuh orang juga dalam keadaan pingsan semuanya. Keadaan itu menyebabkan Danghyang Dwijendra naluri kepanditaan Beliau muncul. Beliau sangat iba melihat kenyataan itu dan berusaha memberi pertolongan pada awak perahu yang nasibnya lagi sial itu.Dengan kekuatan rohani yang sangat mumpuni Danghyang Dwijendra berhasil membuat tujuh awak perahu itu siuman kembali. Tujuh awak perahu itu sangat berterima kasih pada Danghyang Dwijendra atas pertolongan yang Beliau berikan dengan kadar keikhlasan yang amat tinggi itu. Tanpa pertolongan Pandita Sakti itu mereka sangat yakin tidak mungkin bisa hidup kembali.Tujuh awak perahu itu pun menceritakan asal-usul terjadinya musibah yang menimpa diri mereka. Sesungguhnya mereka sangat yakin tidak mungkin bisa hidup dalam musibah tersebut. Mereka sudah sangat pasrah atas nasib yang menimpa dirinya setelah berbagai usaha dilakukan atas kecelakaan tersebut. Ketujuh orang awak perahu itu menyatakan dirinya dari Sasak.Dang Hyang Dwijendra menganjurkan agar mereka memperbaiki perahunya dengan seksama sebelum kembali ke Sasak. Tujuh awak perahu itu pun diberikan berbagai petunjuk dalam memahami dan dan mengatasi berbagai persoalan hidup di dunia ini. Semua petunjuk itu di ikuti oleh awak perahu dari Sasak itu.Setelah beberapa lama awak perahu itu diajak bermalam di daerah Tejakula, Buleleng Utara itu tibalah gilirannya untuk bersiap-siap kembali ke Sasak. Danghyang Dwijendra pun menyatakan ikut karena memang sudah lama beliau niatkan untuk meninjau keadaan masyarakat Sasak. Pagi hari Beliau pun ikut berangkat ke Sasak dan sampai di Sasak dengan selamat.Batu tempat Danghyang Dwijendra bermeditasi di Bai Utara itu setiap malam mengeluarkan sinar yang sangat ajaib dan menimbulkan vibrasi spiritual yang sangat luar biasa. Karena itu, umat yang datang tidak semata-mata ingin menyaksikan batu-batu yang bersinar saja, tetapi mereka juga bersembahyang pada Hyang Widhi atau karunia itu.Akhirnya umat mendirikan Pura yang diberi nama Ponjok Batu artinya tanjung batu. Pelinggih utama di Pura Ponjok Batu pada awalnya adalah dalam wujud Sanggar Agung. Pada mulanya Pura Ponjok Batu itu terletak di sebelah selatan jalan dengan areal yang tidak begitu luas.Pura Ponjok Batu itu kini sudah diperluas dan berada di sebelah utara jalan dari Singaraja menuju Karangasem. Pura Ponjok Batu itu kini sudah jauh lebih megah dan luas sehingga mampu menampung umat yang cukup banyak, terutama saat ada upacara Pujawali atau hari raya keagamaan Hindu lainnya.Mengapa sampai batu-batu tempat Danghyang Dwijendra bermeditasi dan menolong awak perahu dari Sasak itu bersinar. Hal ini mungkin dapat kita pahami kalau ditinjau dari kacamata spiritual. Seorang Pandita menurut konsep Hindu adalah orang suci yang hidupnya hanya untuk memikirkan dan memperhatikan nasib orang lain. Demikian juga mereka yang ditolong juga sangat berterima kasih dan tulus menerima. Bertemunya dua ketulusan itulah menyebabkan turunnya anugerah Tuhan berupa vibrasi kesucian dalam wujud sinar itu.
PURA RAMBUT SIWI
Pura Rambut Siwi
Sekilas Cerita tentang Pura Luhur Rambut Siwi yang Berawal dari Sehelai Rambut.
Keberadaan Pura Luhur Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana sudah sangat terkenal. Pada saat piodalan, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepian laut ini. Berada sekitar 17 km arah timur kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?
ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo, pura ini tidak terlepas dari kedatangan Danghyang Dwijendra. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Danghyang Dwijendra ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Saat menyusuri pantai tersebut, Beliau bertemu seorang tukang sapu di sebuah parahyangan. Tukang sapu tersebut sedang duduk di luar parahyangan. Ketika sang Pendeta lewat, dia pun menyapa sang Pendeta dan minta Pendeta tersebut jangan tergesa-gesa dan berhenti sebentar.
Tukang sapu itu mengatakan, parahyangan merupakan tempat yang angker dan keramat. Barang siapa yang lewat dan tidak menyembah akan diterkam harimau. Untuk itulah, dia minta sang Pendeta sembahyang di parahyangan sembari menghambat perjalanan sang Pendeta.
Danghyang Dwijendra pun menuruti keinginan si tukang sapu. Beliau lalu diantarkan masuk ke parahyangan.
Di depan sebuah bangunan pelinggih, Danghyang Dwijendra melakukan yoga, mengheningkan cipta menatap ujung hidung (Angghsana Cika) dan menunggalkan jiwatman-Nya kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Ketika Beliau sedang asyik melakukan yoga, tiba-tiba gedong pelinggih tempat menyembah itu roboh. Peristiwa itu dilihat oleh tukang sapu. Dia lalu menangis dan mohon ampun kepada sang Pendeta. Tukang sapu itu merasa bersalah karena memaksa sang Pendeta menyembah di Parahyangan. Tukang sapu juga mohon dengan hormat disertai belas kasih sang Pandita agar parahyangan diperbaiki lagi. Tukang sapu ingin perahyangan dikembalikan seperti semula supaya ada yang mereka junjung dan sembah setiap hari.
Danghyang Dwijendra merasa kasihan juga karena melihat bangunan palinggih itu roboh ditambah lagi adanya tangisan tukang sapu. Beliau pun bersabda, akan memperbaiki bangunan itu dan membuatnya seperti sedia kala. Selanjutnya Danghyang Dwijendra melepaskan gelung hingga rambutnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada tukang sapu. ''Danghyang Dwijendra berkata, rambut tersebut agar diletakkan di pelinggih yang ada di Parahyangan dan disiwi atau dijunjung atau disembahyangi agar semua mendapat selamat dan sejahtera. Tukang sapu menuruti apa yang disampaikan Danghyang Dwijendra dan dia juga menuruti semua nasihat Danghyang Dwijendra. Dari sinilah awal nama Pura Rambut Siwi,'' tutur Mangku Gede.
Karena hari sudah hampir malam, Danghyang Dwijendra pun berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Ternyata orang-orang yang datang makin banyak. Mereka datang untuk memohon nasihat agama dan mohon obat. Beliau lalu menasihatkan ajaran-ajaran agama, terutama mengenai bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Batara-batari leluhurnya agar hidup sejahtera di dunia. Beliau juga mengingatkan agar setiap hari Rabu Umanis Perangbakat mengadakan pujawali di Pura Rambut Siwi untuk keselamatan desa.
Delapan Pura
Sampai saat ini pemedek yang tangkil ke Pura Rambut Siwi bukan hanya warga setempat saja. Banyak orang dari luar Jembrana datang ke pura untuk sembahyang dan mohon keselamatan serta kesejahteraan. Sekaa subak baik subak sawah maupun subak kering juga banyak yang melakukan persembahyangan di pura ini.
Di sekitar Pura Luhur Rambut Siwi terdapat tujuh pura atau delapan termasuk Pura Luhur. Bagi umat yang pedek tangkil diharapkan mengikuti urutan tersebut. Pertama, persembahyangan dilakukan di Pura Pesanggrahan yang letaknya di pinggir jalan Denpasar-Gilimanuk. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Taman yang berada di sebelah timur jalan masuk ke lokasi Pura Rambut Siwi.
Selesai di Pura Taman, pemedek menuju ke Pura Penataran. Lokasinya berada di timur Pura Luhur dan turun ke bawah. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Goa Tirta, Pura Melanting, Pura Gading Wani dan Pura Ratu Gede Dalem Ped. Setiap persembahyangan di Pura Ratu Gede Dalem Ped ini, pemedek mendapatkan gelang tridatu (hitam, merah, putih). Setelah itu, persembahyangan diakhiri di Pura Luhur Rambut Siwi.
Menurut Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi, dari semua pura tersebut, Pura Penataran dan Pura Luhur merupakan pura inti, sedangkan yang lainnya merupakan pesanakan.
Di Pura Luhur terdapat 13 bangunan. Bangunan itu antara lain Padma, Pengayeng Gunung Agung, Meru Tiga linggih Ida Batara Sakti Wawu Rauh, Gedong, palinggih Ratu Nyoman Sakti, palinggih tumpang dua linggih Batari Dewa Ayu Ulun Danu, palinggih Rambut Sedana, Taksu, Pepelik, Piasan, Peselang, Bale Gong dan Gedong Pesimpenan Busana.
Karena secara geografis Pura Luhur Rambut Siwi berada di wilayah Yeh Embang, Mendoyo maka pekandel pura pun berasal dari tiga desa yang sekitar pura yakni Desa Yeh Embang Kangin, Yeh Embang dan Yeh Embang Kauh. Dari tiga desa ini terdapat delapan bendesa. Saat ini ketua pekandel dipegang Gusti Made Sedana, Bendesa Yeh Embang Kauh. Sementara itu, Pengempon pura berasal dari Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan. Ketua pengempon dipegang Dewa Made Beratha.
Pada saat pujawali, selain Mangku Lingsir Istri Dayu Ketut Alit, Mangku Gede Ida Bagus Kade Ordo dan Mangku Istri Ida Ayu Putu Nuadnya, banyak pemangku yang ngayah di pura. Pembagian pemangku yang ngayah sudah diatur oleh bendesa masing-masing. Namun untuk sehari-harinya, Mangku Gede dan Mangku Istri yang berada di Pura Luhur. (wah)
Mohon Keselamatan di Perjalanan
JIKA melintasi jalan Denpasar-Gilimanuk di wilayah Yeh Embang, Mendoyo, banyak kendaraan yang berhenti di selatan jalan. Pengguna jalan yang beragama Hindu biasanya melakukan persembahyangan di tempat ini.
Bagi mereka yang sudah terbiasa, tempat ini disebut Pura Pesanggrahan Rambut Siwi. Jika menghadap ke selatan dari Pura Pesanggrahan ini, akan nampak Pura Luhur Rambut Siwi dengan background lautan membiru.
Begitu turun dari kendaraan, ada umat yang langsung masuk ke Pura Pesanggrahan dengan membawa canang sendiri atau membeli di sekitar Pura Pesanggrahan. Usai sembahyang, mereka mendapat percikan tirtha dari pemangku disertai doa semoga selamat dalam perjalanan. Bagi yang tidak membawa canang, mereka tinggal turun dari kendaraan. Pemangku pun dengan sigap akan melayani pemedek. Usai matirtha dan mendapat bija serta bunga, mereka mengaturan sesari. Tidak ada ketentuan berapa sesari yang diaturkan. Semua itu tergantung dari umat. Tak hanya umat saja yang didoakan supaya selamat dalam perjalanan. Kendaraan pun ikut diperciki tirtha dan dipasangi bunga serta bija.
Pada hari-hari biasa, ratusan lebih kendaraan mulai dari kendaraan pribadi hingga kendaraan umum berhenti untuk berdoa dan mohon keselamatan. Pada hari libur atau hari-hari piodalan, jumlah kendaraan akan meningkat. Rombongan yang matirtayatra ke tanah Jawa biasanya berhenti untuk sembahyang di Pura Pesanggrahan ini.
Demikian pula dengan rombongan yang plesir atau study tour ke Jawa.
''Kami tidak pernah memaksakan umat untuk berhenti dan sembahyang di Pura Pesanggrahan. Sembahyang itu tidak boleh dipaksakan,'' ujar Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi. Sesari yang diperoleh dari pemedek, dipergunakan untuk biaya pujawali di Pura Luhur Rambut Siwi. (wah)
Source Bali Post Rabu Paing, 25 Januari 2006