• BALIKU

    BALIKU

    Pulau Bali atau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini sungguh luar biasa pesona keindahannya juga kekayaan budayanya yang masih sangat kental yang melekat pada penduduknya. Tidak heran kalau Pulau Bali sangat terkenal di dunia

    Read More
  • SENI & BUDAYA BALI

    SENI DAN BUDAYA

    Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak amat digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali

    Read More
  • CERITA RAKYAT BALI

    CERITA RAKYAT BALI

    Kumpulan kisah dan legenda masyarakat Bali

    Read More
  • KULINER KHAS BALI

    KULINER KHAS BALI

    Cita rasa dan penampilan masakan Bali sering disebut seeksotis pemandangan pulau dewata itu. Jadi, tak heran jika sejumlah masakan khas Bali pun ikut menjadi ikon pariwisata

    Read More
  • KEUNIKAN BALI

    KEUNIKAN BALI

    Bali memiliki sejuta keunikan, baik bentangan alam maupun budayanya. Salah satu keunikan yang paling kuat adalah corak budayanya yang melekat pada seluruh aspek kehidupan msyarakat Bali

    Read More

Selasa, 06 Maret 2012

PURA ULUWATU

PURA LUHUR ULUWATU

PURA LUHUR ULUWATU
          Pura ini merupakan salah satu dari enam buah pura yang berstatus Sad Kahyangan Jagat. la berdiri megah di ujung barat daya Pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut.
            Berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, pura itu mudah dijangkau. Untuk mencapai pura itu kita mesti menempuh jalan aspal yang sudah mulus dari Denpasar ke selatan sekitar 31 km. Mengingat letak pura ini cukup tinggi, maka kita mesti mendaki undakan yang cukup banyak, namun masih bisa dijangkau anak-anak.
            Pura Luhur Ulu Watu terbagi menjadi tiga bagian : Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Pada Utama Mandala terdapat prasada dan palinggih berupa Meru Tumpang Tiga. Di Madya Mandala tidak ada palinggih. Sedangkan pada Nista Mandala bagian selatan yang disebut Dalem Bejurit terdapat antara lain prasada, tempat mokshahnya Danghyang Dwijendra berdampingan dengan monumen berupa dua buah perahu yang dipakai berlayar sewaktu datang ke Pulau Bali.
            Pura ini banyak dikunjungi wisatawan baik luar maupun dalam negeri. Selain itu, pura ini pernah mendapat bantuan dari Korea pada tahun 1989 sebanyak Rp 87.500.000. Di sekitar lokasi pura ini juga dihuni oleh puluhan ekor kera, seperti halnya terdapat di Pura Bukit Sari, Sangeh, atau Pura Pulaki.
Sejarah Luhur Uluwatu
            Sekitar lahun 1115-1130 Masehi di Kediri Jawa Timur memerintahlah seorang raja bernama Parabu Kamesuara I. Raja ini menganut agama Hindu aliran Wisnu. Salah seorang putranya yakni Sri Wira Dalem Kesari, sekitar tahun 1135, dinobatkan sebagai raja di Pulau Bali. Ketika itu beliau berkeraton di Koripan Besakih yang terletakdikakiGunungAgung. Raja ini juga memeluk agama Hindu sebagaimana agama yang dtanul oleh ayahnya di Kediri.
            Pada masa itu telah berada di Bali seorang Purohita dan sastrawan terkenal bernamu Empu Kuturan. Empu Kuturan dalang ke Pulau Buli sekitar tahun 1039 Masehi. Beliau menata kehidupan keagumaan di daerah ini. Saat itu agama Hindu di Bali lerdiri dari herbagai aliran yakni Brahma, Wisnu, Siwa dan Buda. Konsep yang diterapkan Empu Kuluran adalah konsep Rwa Bhineda yang artinya mengkultuskan Hyang Widhi di dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Luhur Akasa dan Sanghyang Ibu Pertiwi. Meskipun demikian, kehidupan beragama di Bali berjalan dengan baik. Di untara satu alirun dengan aliran lainnya hidup rukun dan pulau Bali sangat tenteram dan damai.
            Pada saat itu Raja Sri Wira Dalem Kesari banyak membangun Wihara dan Pertapaan tempat para biksu, purohita dan pandita melaksanakan yoga semadhi dan tapa. Selain itu banyak pula dibangun pura kahyangan untuk orang-orang Bali melaksanakan persembahyangan ke hadapun Hyang Widhi. Pura Kahyungan yang dibangun sebanyak 17 pura antara lain: Pura Batukaru stana untuk Bhatara Mahadewa, Pura Kiduling Kreteg stana untuk Bhatara Brahma, Pura Watumadeg stana Bhatara Wisnu, Pura Gelap stana untuk Bhatara Iswara, Pura Ulu Watu pesimpangan Bhatara Mahajaya dan lain-lainnya. Sedangkan untuk di tingkat desa kuno dibangun sebuah pura yang disebut Pura Penataran yang biasanya terletak di hulu desa sebagai stana Bhatara Luhur Akasa. Kemudian di hilir desa dibangun Pura Dalem yang berfungsi sebagai Kahyangan Wisesa dengan Prajapati dan setranya.
            Konsep mengenai bentuk dan penataan pura di zaman itu jelas merupakan konsep Empu Kuturan yang sampai saat ini masih dapat kita lihat di desa-desa kuno di Bali, Sedangkan di tanah Jawa hanyak pula dibangun tempat pemujaan berupa candi-candi yang disebut prasada. Tempat suci ini berfungsi untuk leluhur yang telahamoring acintia (meninggal dunia), Candi-candi yang terdapat di lanah Jawa ini hampir sama bentuknya dengan candi-candi yang ada di Pulau Bali. Misalnya candi yang ada di Gunung Kawi, Tampaksiring (Gianyar) maupun Candi Loro Jonggrang di Jawa Tengah.
            Demikian juga halnya adanya onggokan-onggokan batu di Ulu Watu di jaman dahulu yang merupakan tempat pemujaan leluhur yang telah amoring acintia,Onggokan batu yang bertumpuk itu telah terbungkus berada di dalarn candi yang disebut prasada yang ada sekarang. Pemugaran ini dilaksanakan sekitar tahun 1980, dipugar dalam bentuk Candi Catur Dwara berlumpang tujuh. Fungsinya, yakni sebagai stana Bhatara Puser Burni yang berada di depan kiri Palinggih Meru Tumpang Tiga.
            Untuk memelihara candi yang berada di Ulu Watu, Raja Sri Wira Dalem Kesari mengambil tanah-tanah bebukitan yang tcrbentang sangat luas di sekitar Ulu Watu. Tanah itu merupakan tanah ubukti" Ulu Watu. Sedangkan sisanya dianugerahkan kepada orang-orang "Wetbet Bali Mula" untuk memelihara candi tersebut baik demi kepentingan spiritual maupun material. Dengan demikian orang-orang yang memperoleh "pecatu" menamakan dirinya "Wong Pecatu". Lambat laun karena adanya para pendatang baru yang menetap di daerah itu terbentuklah sebuah desa adat yang disebut Desa Adat Pecatu.
Dharmayatra Danghyang Dwijendra
            Sekitar tahun 1460-1550 Masehi, saat pemerintahan Dalem Batur Enggong yang berkeraton di Gelgel Klungkung, Pulau Bali memiliki aiam sangat subur. Berkat kepemimpinan Dalem yang arif dan bijaksana, rakyat hidup rukun dan damai. Hampir tidak pernah terjadi permasalahan atau kasus yang berarti di kalangan orang-orang Bali.
Maka sekitar tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang purohita, sastrawan dan rohaniawan bernama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah seorang pendeta Hindu, kelahiran Kediri, Jawa Timur.
            Danghyang Dwijendra pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi seorang putri di Daha Jawa Timur. Di tempat itu pula beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya. Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.
            Setelah didiksa, Danghyang Dwijendra diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon, Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama kbususnya di Pulau Bali. Bila dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan Sumbawa. Konsep penataan kahyangan di Bali adalah konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan. Sedangkan konsep pendahulunya (Empu Kuturan) yakni Rwa Bhineda. Yang dimaksud konsep Tri Purusa atau Tri Kahyangan adalah penjabaran yang nyata dari sifat dan kekuatan Hyang Widhi, yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa. Tri Kahyangan ini dipisah-pisahkan stananya dalam bentuk Kahyangan Desa, Puseh dan Dalem Wisesa dengan Prajapati dan setranya. Hal ini jelas dapat dilihat pada desa "Apanasa" yang telah berintegritas dari sistem pra Majapahit waktu Empu Kuturan menata Pulau Bali dengan sistem baru penataan Danghyang Dwijendra yang mendukung sistem zaman Majapahit,
            Danghyang Dwijendra datang ke Pulau Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai Barat Daya Daerah Jembrana (asal Jimbar + Wana), untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan Dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup daii tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.
            Setelah mengadakan dharmayatra ke pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung Selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Oleh karena sangat gersang dan sulit mencari sumber air, maka tak cocok untuk pertanian.
            Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Ttulah sebabnya tempat kejadian ini disebut "Cangeling" dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang.
            Oleh karena itulah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.
            Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Sasak dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata "tangis"). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
            Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Tidak ada seorang manusia pun di sini. Juga tidak terdengar suara burung. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Pura ini diempon oleh sebuah keluarga dari Banjar Tengah, Desa Adat Pecatu, serta keluarga besar dari Banjar Panti Denpasar.
            Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
            Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik akhir yang mencekam itu, Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk mengaso. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran), Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu.
            Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra rnenyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya pulau Bali, Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dan bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan Iaut, Dengan demikian disebut Ulu Watu. Ulu = kepala dan watu = batu. Tegasnya batu yang berkepala batu.
            Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memangil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Benda itu sampai sekarang masih tersimpan baik di salah satu Griya Brahmana Wangsa di Desa Mas. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Tda Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.
Hubungan dengan Kerajaan Mengwi
            Sekitar tahun 1627 Isaka 1549 Kerajaan Mengwiraja, dengan rajanya yang bergelar I Gusti Agung Putu yang mabhiseka Ida Cokorde Sakli Blambangan mempersunting seorang istri bernama I Gusti Agung Ayu Panji, putri dari raja Buleleng yang bergelar I Gusti Agung Panji Sakti. Dalam rangkaian perkawinannya itu I Gusti Agung Panji Sakti memberikan hadiah berupa "tetatadan gumi" yang merupakan daerah kekuasaan Raja Buleleng. Tatatadan itu berupa kekuasaan wilayah dari Jimbaran sampai ke ujung Selatan Pulau Bali dan daerah Blambangan Jawa Timur. Pada saat pemerintahan Raja Mengwi Ida Cokorde Sakti Blambangan menguasai tanah Jimbaran sampai Ulu Watu, terlihatlah di sekitar Ulu Watu berupa teja gumulunf* (sinar bulat) setiap sore selama beberapa hari. Peristiwa adanya teja gumulung itu dicek kebenarannya dengan mengutus seorang abdi puri Mengwiraja. Ternyata sinar yang memancar setiap sore itu adalah berupa onggokan batu yang membeku di sebelah barat onggokan batu bekas peninggalan raja Sri Wira Dalem Kesari zaman
dahulu.
            Raja Mengwi, setelah mempertimbangkan matang-matang lalu membuat candi yang disebut prasada di onggokan batu itu. Sayang, candi itu tidak bertahan lama, karena hancur akibat goyangan gempa. Namun Raja tidak berputus asa. Sesudah gempa dibangunlah Palinggih Meru Tumpang Tiga dengan menstanakan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Hal inipun tidak bertahan lama pula. Palinggih ini kedapatan sudah jadi abu terbakar beberapa lama kemudian. Oleh karena situasi sudah berubah, maka oleh masyarakat Desa Adat Pecatu pada bekas palinggih itu dibangun kembali tempat pemujaan berupa candi, Ternyata juga tidak bertahan lama karena goncangan gempa. Masyarakat Desa Adat Pecatu kembali membangun Palinggih Meru Tumpang Tiga. Aneh, palinggih ini juga mengalami kebakaran. Namun umat tak menyerah, Setelah peristiwa kebakaran kedua kalinya itu, masyarakat membangun kembali Palinggih Meru Tumpang Tiga. Palinggih stana Danghyang Dwijendra itu masih tegak sampai sekarang.
            Sedangkan di atas batu di mana bekas Danghyang Dwijendra parama moksha dibuatlah sebuah patung berupa seorang pandita, sebagai wujud Danghyang Dwijendra semasih hidup. Tempat ini disebut "Dalem Bejurit" (artinya pertempuran batin Danghyang Dwijendra antara mempertahankan hidup atau mati).
            Di samping sebelah kanan area (simbolis Danghyang Dwijendra), terdapat sebuah batu besar sebagai simbul buah labu besar (buah waluh pahit). Labu itu dijadikan "perahu" oleh Danghyang Dwijendra sewaktu menyeberangi lautan Selat Bali, berangkat dari Blambangan Jawa Timur dan kemudian turun berlabuh di Purancak. Sedangkan di sebelah kiri area itu terdapat pula sebuah batu besar sebagai simbul dari sampan bocor (jukung bocor). Sampan itu bocor karena tak kuat menampung putra-putri Danghyang Dwijendra yang bersama-sama diajak ke Bali.
            Pada lokasi di jeroan pura terdapat:
a.    Palinggih meru tumpang tiga, stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh,                 
b.    Candi alias prasada, stana Ida Bhatara Puser Bumi.
c.    Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Bhuta Raja dan Kala Raja).
d.    Bale piyasan, tempat sesajen persembahan.
Pada lokasi di jaba pura terdapat :
a.    Palinggih Dalem Bejurit (Tepas dan Area), stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.
b.    Meru tumpang kalih, stana Luhur Akasa dan Pratiwi (Rwa Bhineda),
c.    Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Kaia dan Drokala).
d.    Dua buah tajuk kecil (di depan candi bentar), stana Anglurah (Kaia dan Maha Kala).
e.    Bale gendongan/kulkul, stana Bhatara Iswara,
f.     Bale pasiakrana, tempat Dharmatulla.
g.    Bale perantenan, teinpat dapur suci waktu karya,
h.    Wantilan besar, tempat umat berteduh/rapat, dan Iain-lain,
            Demikianlah semenjak Danghyang Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh parama moksha atau disebut "Ngaluhur", Ulu Watu menjadi "LUHUR ULIJ WATU".
Tempat Memuja Dewa Rudra
            Menurut tokoh umat Hindu Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, Pura Luhur Uluwatu adalah tempat suci untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Rudra (juga disebut Batara Agni Maha Jaya), perwujudan kemahakuasaan yang manunggal dari Dewa Tri Murti. Tujuannya, untuk mendapatkan kekuatan agar manusia memiliki kemampuan hidup untuk mencipta, memelihara dan memprahna sesuatu yang sepatutnya diciptakan, dipelihara dan dipralina. Adapun pelinggih sebagai tempat memuja Rudra itu yakni di Meru Tumpang Tiga.
            Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Dalam Lontar Kusuma Dewa disebutkan, tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927. Angka itu diperoleh berdasarkan analisa pintu masuk Pura Luhur Uluwatu yang menggunakan candi Paduraksa yang bersayap, sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan dan di Lamongan Jatim, Di Candi Pura Sakenan tersebut terdapat candra sangkala dalam bentuk resi apit lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk, Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka.
            Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan bahwa Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana. Mengapa disebut Padma Bhuwana, diduga karena pura ini didirikan berdasarkkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsep Sad Winayaka, pura ini statusnya sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan. Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, pura ini didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya dari Padma Bhuwana tersebut.
            Menurut Ida Pedanda Punyatmaja Pidada yang pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat, bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa; Dewa Wisnu di Pura Batur Kintamani, Bangli. Dewa Siwa di Pura Besakih dan Dewa Brahma di Pura Andakasa, Karangasem. Letak pura Luhur Uluwatu konon juga berhadapan dengan ketiga pura tersebut.
            Pada peninggalan purbakala di Sendang Duwur terdapat Candra Sengkala yaitu tanda tahun saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.CandikurungPaduraksabersayap di Sendang Duwur sama dengan candi kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu, Dengan demikian diduga kuat, bahwa Candi Kurung Paduraksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada abad XVI.A.

PURA PONJOK BATU

                                                                         

PURA PONJOK BATU                                                                

Pura Ponjok Batu, Penyeimbang Bali Utara
Pura Ponjok Batu merupakan salah satu Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Kahyangan, selain Pura Pulaki di Desa Banyupoh, Gerokgak. Pura ini terletak di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Memang tidak ada data pasti mengenai awal keberadaan pura ini. Namun yang diketahui, keberadaan pura ini tak bisa lepas dari sejarah kedatangan Pendeta Siwa Sidanta yaitu Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh) pada abad ke-15, saat masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
===========================================================
Pura ini memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah masyarakat Julah dan sekitarnya.
Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari
Sistem penguburan menggunakan sarkopah berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar 5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat. Pada zaman perundagian, masyarakat percaya pemujaan roh nenek moyang dan orang-orang yang dihormati, seperti kepala suku atau ketua adat. Seperti halnya tradisi pembuatan mumi di Mesir, Babilonia, Siria dan lainnya.
Sementara menurut kajian efigrafi atau prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M).
Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar.
Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali Utara/Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu.
Danghyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok, setelah menolong seorang bendega atau awak perahu asal Lombok, yang sedang karam di sekitar pantai Ponjok Batu. Dikisahkan, awak perahu itu melihat batu bersinar di tengah laut. Batu didatangi, dibelah. Tetapi kemudian mereka tidak bisa berangkat sampai datang pertolongan dari Danghyang Nirartha. Batu itu hingga kini masih ada di pantai Ponjok Batu.
Sejak kedatangan Danghyang Nirartha,  nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa.
Sementara berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji. Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi seimbang.
Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok Batu meliputi:
1. Padmasana
2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha
3. Pelinggih Ciwa
4. Pelinggih Ganesa
5. Pelinggih Batara Baruna
6. Pelinggih Seluang
7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter
8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)
9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran
10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar
11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)
12. Bale Pesandekan
13. Bale Paselang
14. Bale Ongkara
15. Bale Gegitaan
16. Bale Reringgitan
17. Bale Kulkul
18. Bale Pegat
19. Bale Paninjoan
Sementara menurut pemangku di Pura Ponjok Batu Jro Mangku Ketut Ludri (50) dan Jro Mangku Nengah Widi (37), piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh) yang jatuh 13 Juli 2006. Sedangkan piodalan Purnama Desta nanti pada 12 Mei 2006. Menurut Jro Mangku, pada piodalan Purnama Desta, diikuti pangempon pura ini yaitu warga Desa Adat Bangkah, Tejakula. Sedangkan pada saat piodalan Sasih Kasa, diikuti warga se-Kecamatan Tejakula. Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek tangkil ke pura ini, termasuk para pejabat. “Biasanya banyak yang nunas tamba, melukat dan nunas keselamatan,” ujar Jro Mangku Nengah Widi.
Konsep Nyegara Gunung
Ada tradisi yang ada hingga sekarang dan masih berjalan di wilayah Pura Ponjok Batu. Pura ini memiliki hubungan dengan Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kubutambahan. Setiap ada upacara melasti Ida Batara di Pura Bukit Sinunggal dan Pura-pura lain di Tajun, upacara pemelastian selalu diselenggarkan di Pura Ponjok Batu karena di sana terdapat sumber air tawar yang memiliki kesucian dan dikatakan sebagai air campuhan antara air darat dan laut.
Hubungan antara Pura Ponjok Batu dan Pura Bukit Sinunggal sangat erat. Pura Ponjok Batu sebagai zenit bawah dan Pura Bukit Sinunggak di Tajun sebagai zenit atas. Ini membuktikan adanya keserasian yang kekal antara segara dan gunung. Bali punya nilai spiritual sangat tinggi karena sepanjang pantai Bali Utara, jarak pantai dan gunung sangat berdekatan, sehingga tingkat kesucian segara sama dengan kesucian daerah pegunungan. Karena itu, upacara nyegara gunung dalam upacara pitra yadnya sangat penting dilaksanakan. (ari)
Pura Ponjok Batu
Paropakaranam yesam, jagarti hrdaye satam
Nasyanti vipadas tesam, sampadah syuh pade pade.
(Canakya Nitisastra, XVII.15)
Maksudnya:
Beliau yang selalu dalam hatinya memikirkan kepentingan-kepentingan orang lain, segala kesulitannya musnah dan memperoleh keberuntungan dalam setiap langkahnya.
HATI nurani Resi Vyasa sangat terkesan ikut berbahagia menyaksikan dua ekor induk burung dengan penuh kasih memberikan makan pada anak-anaknya. Curahan kasih sayang induk burung dengan anak-anaknya itu sangat menggetarkan hati Resi Vyasa yang sedang merenungkan keindahan alam di tepi Sungai Gangga. Sejak itu Resi Vyasa sangat ingin berputra agar dapat menyalurkan kasih sayang dengan hati nurani yang suci.
Karena kerinduan yang suci itu Dewa Narada datang pada Resi Vyasa. Dewa Narada menyatakan bahwa kalau Resi Vyasa ingin berputra, hidupnya harus melalui upaya mewujudkan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha. Empat tujuan hidup itu adalah Dharma, Artha, Kama dan barulah dapat mencapai Moksha.
Kalau Resi Vyasa tidak menempuh hidup sukla Brahmacari beliau bisa hidup dengan hanya mencapai Dharma saja terus dapat mencapai Moksha. Sejak itulah Dewa Narada mengajarkan tentang Catur Purusartha pada Resi Vyasa. Dengan Catur Purusartha itulah umat penganut Veda tujuan hidupnya menjadi sangat jelas.
Demikian juga halnya Danghyang Dwijendra ketika sedang menikmati indahnya pemandangan alam berupa lautan yang berpadu dengan daratan dipayungi oleh langit biru di sebuah tanjung di Bali Utara. Pemandangan yang menggetarkan hati nurani sang Pandita itu sekarang terkenal dengan Ponjok Batu.
Danghyang Dwijendra sangat asyik menyaksikan indahnya pemandangan yang menggetarkan batin sang Pandita. Entah berapa lama Danghyang Dwijendra duduk di atas batu yang agak besar di tanjung tersebut. Sebagai seorang Pandita swadharma beliau hanyalah memikirkan kepentingan orang lain atau masyarakat luas agar bisa hidup sejahtera dan bahagia lahir batin.
Hal itulah yang senantiasa selalu dipikirkan sebagai seorang Pandita. Danghyang Dwijendra juga sedang asyik memikirkan untuk meninjau keadaan masyarakat di Sasak (Lombok). Untuk di Bali, Beliau merasa sudah banyak membantu Raja dalam memberikan tuntutan pada masyarakat di Bali.
Saat Beliau melepaskan pandangan ke laut lepas ke arah timur laut, Beliau melihat ada perahu kandas. Tiang layar perahu yang kandas itu patah, bocor dan tali-temalinya patah semua. Awaknya sejumlah tujuh orang juga dalam keadaan pingsan semuanya. Keadaan itu menyebabkan Danghyang Dwijendra naluri kepanditaan Beliau muncul. Beliau sangat iba melihat kenyataan itu dan berusaha memberi pertolongan pada awak perahu yang nasibnya lagi sial itu.
Dengan kekuatan rohani yang sangat mumpuni Danghyang Dwijendra berhasil membuat tujuh awak perahu itu siuman kembali. Tujuh awak perahu itu sangat berterima kasih pada Danghyang Dwijendra atas pertolongan yang Beliau berikan dengan kadar keikhlasan yang amat tinggi itu. Tanpa pertolongan Pandita Sakti itu mereka sangat yakin tidak mungkin bisa hidup kembali.
Tujuh awak perahu itu pun menceritakan asal-usul terjadinya musibah yang menimpa diri mereka. Sesungguhnya mereka sangat yakin tidak mungkin bisa hidup dalam musibah tersebut. Mereka sudah sangat pasrah atas nasib yang menimpa dirinya setelah berbagai usaha dilakukan atas kecelakaan tersebut. Ketujuh orang awak perahu itu menyatakan dirinya dari Sasak.
Dang Hyang Dwijendra menganjurkan agar mereka memperbaiki perahunya dengan seksama sebelum kembali ke Sasak. Tujuh awak perahu itu pun diberikan berbagai petunjuk dalam memahami dan dan mengatasi berbagai persoalan hidup di dunia ini. Semua petunjuk itu di ikuti oleh awak perahu dari Sasak itu.
Setelah beberapa lama awak perahu itu diajak bermalam di daerah Tejakula, Buleleng Utara itu tibalah gilirannya untuk bersiap-siap kembali ke Sasak. Danghyang Dwijendra pun menyatakan ikut karena memang sudah lama beliau niatkan untuk meninjau keadaan masyarakat Sasak. Pagi hari Beliau pun ikut berangkat ke Sasak dan sampai di Sasak dengan selamat.
Batu tempat Danghyang Dwijendra bermeditasi di Bai Utara itu setiap malam mengeluarkan sinar yang sangat ajaib dan menimbulkan vibrasi spiritual yang sangat luar biasa. Karena itu, umat yang datang tidak semata-mata ingin menyaksikan batu-batu yang bersinar saja, tetapi mereka juga bersembahyang pada Hyang Widhi atau karunia itu.
Akhirnya umat mendirikan Pura yang diberi nama Ponjok Batu artinya tanjung batu. Pelinggih utama di Pura Ponjok Batu pada awalnya adalah dalam wujud Sanggar Agung. Pada mulanya Pura Ponjok Batu itu terletak di sebelah selatan jalan dengan areal yang tidak begitu luas.
Pura Ponjok Batu itu kini sudah diperluas dan berada di sebelah utara jalan dari Singaraja menuju Karangasem. Pura Ponjok Batu itu kini sudah jauh lebih megah dan luas sehingga mampu menampung umat yang cukup banyak, terutama saat ada upacara Pujawali atau hari raya keagamaan Hindu lainnya.
Mengapa sampai batu-batu tempat Danghyang Dwijendra bermeditasi dan menolong awak perahu dari Sasak itu bersinar. Hal ini mungkin dapat kita pahami kalau ditinjau dari kacamata spiritual. Seorang Pandita menurut konsep Hindu adalah orang suci yang hidupnya hanya untuk memikirkan dan memperhatikan nasib orang lain. Demikian juga mereka yang ditolong juga sangat berterima kasih dan tulus menerima. Bertemunya dua ketulusan itulah menyebabkan turunnya anugerah Tuhan berupa vibrasi kesucian dalam wujud sinar itu.

PURA RAMBUT SIWI


Pura Rambut Siwi

Pura Luhur Rambut Siwi terletak di Jalan Denpasar - Gilimanuk di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali Indonesia, 18 KM timur Kota Negara dan sekitar 200 meter ke selatan dari Pura Penyawangan( Pura yang terletak di pinggir jalan utama Denpasar - Gilimanuk, dan selalu di singgahi banyak pengguna jalan yang memohon Yeh Tirtha (air suci) agar mendapatkan keselamatan dalam perjalanan mereka). Pura Luhur Rambut Siwi di datangi oleh sebagian besar umat Hindu yang ada di Bali saat odalan Pura yang jatuh setiap 210 hari padaBuda(rabu), umanis, wuku prangbakat. Odalan yang jatuh pada hari biasa akan dilakukan Odalan Tingkatan Madia(menengah). Tapi jika bertepatan pada saat bulan Purnama atau Tilem maka akan dilaksanakan Odalan Tingkatan Utama(odalan Nadi).



Sekilas Cerita tentang Pura Luhur Rambut Siwi yang Berawal dari Sehelai Rambut. 
Keberadaan Pura Luhur Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana sudah sangat terkenal. Pada saat piodalan, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepian laut ini. Berada sekitar 17 km arah timur kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?


ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo, pura ini tidak terlepas dari kedatangan Danghyang Dwijendra. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Danghyang Dwijendra ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Saat menyusuri pantai tersebut, Beliau bertemu seorang tukang sapu di sebuah parahyangan. Tukang sapu tersebut sedang duduk di luar parahyangan. Ketika sang Pendeta lewat, dia pun menyapa sang Pendeta dan minta Pendeta tersebut jangan tergesa-gesa dan berhenti sebentar.
Tukang sapu itu mengatakan, parahyangan merupakan tempat yang angker dan keramat. Barang siapa yang lewat dan tidak menyembah akan diterkam harimau. Untuk itulah, dia minta sang Pendeta sembahyang di parahyangan sembari menghambat perjalanan sang Pendeta.
Danghyang Dwijendra pun menuruti keinginan si tukang sapu. Beliau lalu diantarkan masuk ke parahyangan.
Di depan sebuah bangunan pelinggih, Danghyang Dwijendra melakukan yoga, mengheningkan cipta menatap ujung hidung (Angghsana Cika) dan menunggalkan jiwatman-Nya kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Ketika Beliau sedang asyik melakukan yoga, tiba-tiba gedong pelinggih tempat menyembah itu roboh. Peristiwa itu dilihat oleh tukang sapu. Dia lalu menangis dan mohon ampun kepada sang Pendeta. Tukang sapu itu merasa bersalah karena memaksa sang Pendeta menyembah di Parahyangan. Tukang sapu juga mohon dengan hormat disertai belas kasih sang Pandita agar parahyangan diperbaiki lagi. Tukang sapu ingin perahyangan dikembalikan seperti semula supaya ada yang mereka junjung dan sembah setiap hari.
Danghyang Dwijendra merasa kasihan juga karena melihat bangunan palinggih itu roboh ditambah lagi adanya tangisan tukang sapu. Beliau pun bersabda, akan memperbaiki bangunan itu dan membuatnya seperti sedia kala. Selanjutnya Danghyang Dwijendra melepaskan gelung hingga rambutnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada tukang sapu. ''Danghyang Dwijendra berkata, rambut tersebut agar diletakkan di pelinggih yang ada di Parahyangan dan disiwi atau dijunjung atau disembahyangi agar semua mendapat selamat dan sejahtera. Tukang sapu menuruti apa yang disampaikan Danghyang Dwijendra dan dia juga menuruti semua nasihat Danghyang Dwijendra. Dari sinilah awal nama Pura Rambut Siwi,'' tutur Mangku Gede.
Karena hari sudah hampir malam, Danghyang Dwijendra pun berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Ternyata orang-orang yang datang makin banyak. Mereka datang untuk memohon nasihat agama dan mohon obat. Beliau lalu menasihatkan ajaran-ajaran agama, terutama mengenai bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Batara-batari leluhurnya agar hidup sejahtera di dunia. Beliau juga mengingatkan agar setiap hari Rabu Umanis Perangbakat mengadakan pujawali di Pura Rambut Siwi untuk keselamatan desa.


Delapan Pura
Sampai saat ini pemedek yang tangkil ke Pura Rambut Siwi bukan hanya warga setempat saja. Banyak orang dari luar Jembrana datang ke pura untuk sembahyang dan mohon keselamatan serta kesejahteraan. Sekaa subak baik subak sawah maupun subak kering juga banyak yang melakukan persembahyangan di pura ini.


Di sekitar Pura Luhur Rambut Siwi terdapat tujuh pura atau delapan termasuk Pura Luhur. Bagi umat yang pedek tangkil diharapkan mengikuti urutan tersebut. Pertama, persembahyangan dilakukan di Pura Pesanggrahan yang letaknya di pinggir jalan Denpasar-Gilimanuk. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Taman yang berada di sebelah timur jalan masuk ke lokasi Pura Rambut Siwi.


Selesai di Pura Taman, pemedek menuju ke Pura Penataran. Lokasinya berada di timur Pura Luhur dan turun ke bawah. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Goa Tirta, Pura Melanting, Pura Gading Wani dan Pura Ratu Gede Dalem Ped. Setiap persembahyangan di Pura Ratu Gede Dalem Ped ini, pemedek mendapatkan gelang tridatu (hitam, merah, putih). Setelah itu, persembahyangan diakhiri di Pura Luhur Rambut Siwi.


Menurut Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi, dari semua pura tersebut, Pura Penataran dan Pura Luhur merupakan pura inti, sedangkan yang lainnya merupakan pesanakan.


Di Pura Luhur terdapat 13 bangunan. Bangunan itu antara lain Padma, Pengayeng Gunung Agung, Meru Tiga linggih Ida Batara Sakti Wawu Rauh, Gedong, palinggih Ratu Nyoman Sakti, palinggih tumpang dua linggih Batari Dewa Ayu Ulun Danu, palinggih Rambut Sedana, Taksu, Pepelik, Piasan, Peselang, Bale Gong dan Gedong Pesimpenan Busana.


Karena secara geografis Pura Luhur Rambut Siwi berada di wilayah Yeh Embang, Mendoyo maka pekandel pura pun berasal dari tiga desa yang sekitar pura yakni Desa Yeh Embang Kangin, Yeh Embang dan Yeh Embang Kauh. Dari tiga desa ini terdapat delapan bendesa. Saat ini ketua pekandel dipegang Gusti Made Sedana, Bendesa Yeh Embang Kauh. Sementara itu, Pengempon pura berasal dari Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan. Ketua pengempon dipegang Dewa Made Beratha.


Pada saat pujawali, selain Mangku Lingsir Istri Dayu Ketut Alit, Mangku Gede Ida Bagus Kade Ordo dan Mangku Istri Ida Ayu Putu Nuadnya, banyak pemangku yang ngayah di pura. Pembagian pemangku yang ngayah sudah diatur oleh bendesa masing-masing. Namun untuk sehari-harinya, Mangku Gede dan Mangku Istri yang berada di Pura Luhur. (wah)


Mohon Keselamatan di Perjalanan
JIKA melintasi jalan Denpasar-Gilimanuk di wilayah Yeh Embang, Mendoyo, banyak kendaraan yang berhenti di selatan jalan. Pengguna jalan yang beragama Hindu biasanya melakukan persembahyangan di tempat ini.
Bagi mereka yang sudah terbiasa, tempat ini disebut Pura Pesanggrahan Rambut Siwi. Jika menghadap ke selatan dari Pura Pesanggrahan ini, akan nampak Pura Luhur Rambut Siwi dengan background lautan membiru.
Begitu turun dari kendaraan, ada umat yang langsung masuk ke Pura Pesanggrahan dengan membawa canang sendiri atau membeli di sekitar Pura Pesanggrahan. Usai sembahyang, mereka mendapat percikan tirtha dari pemangku disertai doa semoga selamat dalam perjalanan. Bagi yang tidak membawa canang, mereka tinggal turun dari kendaraan. Pemangku pun dengan sigap akan melayani pemedek. Usai matirtha dan mendapat bija serta bunga, mereka mengaturan sesari. Tidak ada ketentuan berapa sesari yang diaturkan. Semua itu tergantung dari umat. Tak hanya umat saja yang didoakan supaya selamat dalam perjalanan. Kendaraan pun ikut diperciki tirtha dan dipasangi bunga serta bija.
Pada hari-hari biasa, ratusan lebih kendaraan mulai dari kendaraan pribadi hingga kendaraan umum berhenti untuk berdoa dan mohon keselamatan. Pada hari libur atau hari-hari piodalan, jumlah kendaraan akan meningkat. Rombongan yang matirtayatra ke tanah Jawa biasanya berhenti untuk sembahyang di Pura Pesanggrahan ini.
Demikian pula dengan rombongan yang plesir atau study tour ke Jawa.
''Kami tidak pernah memaksakan umat untuk berhenti dan sembahyang di Pura Pesanggrahan. Sembahyang itu tidak boleh dipaksakan,'' ujar Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi. Sesari yang diperoleh dari pemedek, dipergunakan untuk biaya pujawali di Pura Luhur Rambut Siwi. (wah)


Source Bali Post Rabu Paing, 25 Januari 2006

PURA PULAKI

PURA PULAKI

PURA PULAKI

            Pura Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke lauL Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yung hanya menghijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di medan yang terjal berbatu-batu. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Ratusan kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan nakal, usil, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
            Terletak di Desa Bunyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja, pura iiy terletak di pinggir jalan rayajurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu biasanya suka singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat.
            Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijeiaskan secara rinci. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
            Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali UtaraDrs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara — sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang — maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah, Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
            Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnyaberkaitan dengan sarana pemujaan masyarakut prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
            Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejakberabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramui dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti, dengan ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
            Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang dvsusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya,      
Menurut Simba, Pura Pulaki dmpesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala atau 7 lapisan alam semesta,
Pulaki dan Sumsum Tulang Itik
            Sebenarnya sejarah Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali. Menurut Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng terletak di antara gunung dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut sangat dekat maka datarannya yang dimiiiki sangat sempit. Ini disebut wilayah nyegara-gunung* suatu daerah yang cocok dengan kegiatan spiritual seperii misalnya dan tempat pemujaan, baik di gunung maupun di tepi laut.
            Ketut Simba menjelaskan, bentuk Pulau Bali itu tak ubahnya seperti seekor itik. Kepala menghadap ke barat berhadapan dengan Jawa, punggung ke utara berhadapan dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke timur menghadap ke Lombok. Sementara leher, tembolok, dada, perut, berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bagian punggung Pulau Bali terbentang sederetan daerah pegunungan dari barat, daerah Desa Cekik hingga ke timur di Lempuyang Karangasem sehingga Bali seolah dibelah menjadi dua. Bali Selatan dan Denbukit. Denbukit juga dibagi dua, di mana bagian barat biasa disebut dauh enjung dan dangin enjung, di mana batasnya adalahenjung sanghyang.
            Ekor itik ini punya makna bahwa Bali punya nilai kesucian yang sangat tinggi. Karena itik binatang suci, terbukti jika orang membikin banten (aturan suci), terutama suci gede, maka binatang ini adalah sarana yang sangat menentukan kesucian banten tersebut. Begitu pula pegunungan yang memanjang dari barat ke timur adaiah punggung itik, di mana pada tulang punggung mengandung sumsum dan unsur kehidupan pada dimensi spiritual. "Pada tempat inilah ditemukan garis kundalini," katanya.
            Pura-pura yang ditemukan di sepanjang pantai antara lain Pura Bakungan, Pura Teluk Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan, Labuhan Aji, Celuk Agung, Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang, Kerta Negara Mas, Pojok Batu, Pura Pulaki dengan pesanakannya dan pura lainnya. Sedangkan di pegunungan dari barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru, Tamblingan, Puncak Mangu, Bukit Sinunggal, Indrakila, Penulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan Iain-lain.
            Nah, Pura Pulaki yang dibangun pada tempat perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk. Maka tata letak, strukturdan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur antara segara dan gunung yang menyatu.
            Untuk sekadar tambahan, bahwa dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Danghyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan antara Iain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung usai. Tetapi ternyata, Danghyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama, Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah 8,000 orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggai di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ttgekmting dalam bahasa Bali). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Melanting.
            Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewa Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma maka Dewa Melanting itulah yang akan melidunginya.
            Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan roh suci Danghyang Nirartha. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonorni. Pura Pulaki disungsung subak-subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat juga termask kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan untuk memohon tegaknya moral etika dan hukum dalam berbisnis. Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaning Jagat. Pura Gunung Gondol terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesha.

PURA SILAYUKTI

PURA SILAYUKTI

PURA SILAYUKTI
            Pura Silayukti terletak di ujung selatan Gunung Luhur Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Di sebalah selatan membentang laut yang memisahkan antara pulau Bali dengan Nusa Penida. Di sebelah utara berdiri Gunung Luhur. Di sebelah barat teluk Padangbai (Pelabuhan Padangbai). Di sebelah timur Teluk Labuhan Amuk. Pura itu didirikan di atas tanah datar dan menjorok ke laut, menghadap ke selatan.
            Untuk mencapai pura itu sudah mudah, karena jalan menuju halaman pura sudah bagus. Namun jika memakai bis besar dan banyak rombongan, sebaiknya parkir di depan sekolah dasar Padangbai dan dari sana perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 400 meter. Pura itu terletak pada ketinggian sekitar 50 meter dari permukaan laut.
Sejarah Pura
Sejarah Pura Silayukti ada disebutkan dalam lontar yaitu :
            1. Babad Bendesa Mas.
Di dalam lontar ini ada disebutkan: "Tusapa kalah ikang Mayadanawa, cinarita sira sang apuspatha Empu Kuturan, hawelas ring tan hananing ratu, rumaksa tang Bali rajya, saksana turun pwa saking Jawadwipa Mandala, sirajumeneng ratu ring Bali, asrama ring padang Silayukti, irika dewataraka nira Empu
Kuturan”.
Artinya:
            Tersebutlah kalahnya Mayadanawa, diceritakanlah beliau yang bergelar Empu Kuturan, beliau kasihan karena tidak adanya raja di Bali, dijaganyalah oleh beliau keraton Bali, maka segeralah beliau datang dari Pulau Jawa, beliau menjabat sebagai raja di Bali, beliau membangun wisma di Silayukti Padang.
            2. Dwijendra Tatwa
            Di dalam lontar ini disebutkan antara lain: "Tan warnanan ring hawan, dhatang ta sireng Gelgel, lumaris si ring Padang, apan sang prabu sireng padang; wus prapteng Padang sendhu ta sira £ri Waturenggong ling haji, "malah twa pwa kita penyarikan, hangliwari kita semaya, kaya dede selahing wwang atuha, si kita penyarikan dunungan ta sang wawu rawuh ring parhyangan pangastawan ira Empu Kuturan nguni."
            Artinya:
            Tidak diceritakan di dalam perjalanan, datanglah beliau (Pedanda Sakti Wawu Rawuh) di Gelgel lalu menuju Padang, karena sang raja berada di Padang, setelah tiba di Padang Dalem Baturenggong menjadi mangkel, katanya: "Padahal sudah tua kamu penyarikan, kamu melewatijanji, bukan seperti orangtua kamu berbuat, hai kamu penyarikan istirahatkan beliau yang bam datang itu di palinggih bekas wisma Empu Kuturan dahulu."
            Di dalam rental Calonarang ada disebutkan bahwa Empu Kuturan yaitu kakak dari Empu Beradah bertapa di Silayukti Pulau Bali. Di dalam rontal Calonarang itulah disebutkan kedatangan Empu Beradah ke Bali sebagai utusan dari raja Airlangga untuk menobatkan salah seorang putranya menjadi raja di Bali. Permintaan Airlangga itu ditolak oleh Empu Kuturan.
            Di dalam prasasti Pura Kehen B, ada disebutkan, "mpi(ng) hyang Padang sangscaryya netra."
Pada beberapa prasasti Bali Kuna "type punah", terdapat kata "Senapati Kuturan" seperti yang terdapat dalam Prasasti Pura Desa Gobleg 1037 Q yaitu, "…senapati Kuturan pu caken…"
Prasasti Cempaga A 1103 Ç menyebutkan: "senapati Kuturan makakasir dalang capek…"
            Atas dasar data-data tersebut di atas, maka disimpulkan, bahwa Empu Kuturan datang ke Bali dari Jawa Timur diperkirakan sekitar tahun 1039 M yaitu pada masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan dalam lontar Calonarang. Berdasarkan Prasasti Calcuta (1042), bahwa Airlangga dinobatkan menjadi raja di Jawa Timur pada tahun 1019 M. la memerintah dari tahun 1019-tahun 1042 dan wafat tahun 1049. Pada tahun 1041 Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua untuk kedua orang putranya. Pembagian itu dilakukan oleh Empu Beradah yaitu adik dari Empu Kuturan, sebagaimana disebutkan di dalamNagarakrtagama.
            Empu Beradah datang ke Bali pada tahun 1041 sebagaimana disebutkan di dalam prasasti Batumadeg. Untuk menemui Empu Kuturan di Silayukti, beliau datang ke Bali sebagai utusan raja Airlangga. Empu Beradah minta kepada Empu Kuturan agar salah sorang putra Airlangga dinobatkan menjadi raja di Bali. Permohonan itu ditolak Empu Kuturan. Demikian dalam lontar Calonarang disebutkan.
            Sedangkan dalam lontar Babad Bendesa Mas disebutkan, bahwa Empu Kuturan berwisma di Silayukti dan beliau tinggal di sana sampai wafat. Tahun berapa beliau wafat, tidak diketahui dengan pasti.
            Setelah Empu Kuturan wafat sekitar abad 11, di tempat wisma beliau, didirikan pura sebagai tempat pemujaannya. Pelinggih yang dibuat hanya bebaturansaja. Pelinggih sederhana itu sampai tahun 1931 saja. Sejak tahun 1931, Pura Silayukti diperbesar dan jumlah pelinggih ditambah. Bebaturan itu kemudian diganti dengan meru tumpang tiga.
            Siapakah Empu Kuturan dan siapakah nama sebenarnya? Dalam Prasasti Bali Kuna yang berbahasa Jawa Kuna ada disebutkan Senapati Kuturan. Dalam lontarUsana Dewa ada disebutkan, bahwa Empu Kuturan datang dari Majapahit, lalu mendirikan sejumlah pura di Bali antara lain: Pura Batu Madeg, Pura Ulun Swi, Pura Uluwatu, Pura Sakenan, dan lainnya lagi.
            Lontar Dewatatwa menyebutkan, Empu Kuturan mengajarkan cara-cara membuat pedagingan meru. Ada lagi lontar berjudul "Empu Kuturan". Dalam lontar itu disebutkan, Empu Kuturan membangun meru di Besakih. Keterangan prasasti dan lontar tersebut di atas memberikan gambaran yang simpang siur mengenai "Kuturan". Betapa tidak. Antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya walaupun relevan "Kuturan" namun jarak waktunya sangat jauh. Akhirnya muncul pertanyaan: apakah senapati Kuturan yang disebut dalam beberapa prasasti Bali Kuna sama dengan Empu Kuturan yaitu kakak Empu Beradah, seperti yang disebutkan dalam beberapa lontar. Untuk menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
            1. Empu Kuturan yang datang dari Jawa Timur ke Bali pada zaman Pemerintahan Airlangga mendapat penghormatan besar dari rakyat Bali dan mendapat kepercayaan besar dari raja Marakata dan raja Anakwungsu serta beliau diberi kedudukan penting dalam pemerintahan. Disamping itu, Empu Kuturan berperan besar di bidang keagamaan dan juga sebagai penasihat raja. Hal ini terbukti, dalam lontar Calonarang disebutkan, Empu Kuturan menolak kehendak raja Airlangga untuk menobatkan putranya menjadi raja di Bali.
            2. Untuk mengenang jasa-jasa Empu Kuturan, oleh raja-raja yang memerintah kemudian, nama "Kuturan" dijadikan nama suatu jabatan "senapati" yang artinya suatu jabatan tinggi pimpinan perang dalam struktur pemerintahan kerajaan Bali Kuna. Contohnya, dalam prasasti Campaga C (12460) ada disebutkan, "…senapati Kuturan makakasir dalang capek …'
Artinya:                                                                      
            "…pimpinan perang yang disebut "kuturan" bernama Dalang Capek….."
            3.  Kedua alternatif di atas memberikan kesimpulan, bahwa "senapati Kuturan" sebagaimana dimuat dalam prsasati Bali Kuna adalah suatu nama jabatan tinggi dalam angkatan perang dan bukan Empu Kuturan kakak Empu Beradah yang berwisma di Silayukti.
            4. Mengenai nama Kuturan, apakah itu nama asli atau samaran, masih diperbincangkan. Di dalam prasasti Pura Kehen B ada disebutkan: "…mpihhyang padang dang acaryya netra…" artinya: "…pendeta pada tempat suci di Padang (bemama) Dang Acaryya Netra…" Apakah Dang Acaryya Netra ini dapat disamakan dengan Empu Kuturan di Silayukti, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
            Atas dasar dan fakta tersebut. dapat disimpulkan bahwa Pura Silayukti didirikan pada abad 1 1 untuk menghormati kebesaran jasa-jasa Empu Kuturan di Bali, baik selaku pejabat tinggi pemerintahan pada masa raja Marakata dan raja Anakwungsu, maupun selaku pimpinan agama Hindu di Bali pada zaman Bali Kuna. Dalam kesusastraan, tercatat bahwa Empu Kuturan mengajarkan konsepsi Kahyangan Tiga, Ngaben Swasta dan mendirikan Pura Sad Kahyangan Jagat Bali. Beliau juga mengajarkan membuat meru di Besakih.
Status dan fungsi
            Adapun status Pura Silayukti itu adalah Pura Dang Kahyangan sebagai penghormatan kepada orang suci atau Dang Guru bagi umat Hindu di Bali yaitu Empu Kuturan. Walaupun Pura Silayukti itu tidak mempunyai fungsi khusus namun di Pura ini sering dilakukan upacara
Ngajarajar.
Struktur Pura
Keseluruhan komplek Pura Silayukti terdiri dari empat buah pura yaitu :
1. Pura Silayukti
2. Pura Tanjung Sari
3. Pura Telaga Mas
Pura Silayukti, Pura Tanjung Sari dan Pura Telaga Mas terletak satu deret dimana Pura Silayukti sendiri berada di tengah-tengah antara Pura Telaga Mas dan Pura Tanjung Sari. Pura Silayukti terdiri dari tiga halaman yaitu halaman luar (jaba pura), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman dalam (jeroan). Jaba pura membentang di selatan merupakan pelataran yang Juas dan datar serta bentuknya memanjang.
            Jaba Tengah dikelilingi tembok panyingker dan mempunyai dua buah pintu gerbang berbentuk candi bentar masing-masing menghadap ke barat dan ke selatan, Di sudut barat daya terdapat bale kulkul dan di bagian timurnya terletak bale gong. Luas halaman jaba tengah dan jeroan sepanjang 37 meter dan lebar 22 meter.
            Antara jaba tengah dan jeroan dibatasi oleh tembok dan disana terdapat tiga buah candi bentar menghadap ke selatan, Di dalam jeroan terdapat bangunan yaitu :
1.    Bale panjang
2.    Piasan
3.    Bale Pesamuhan
4.    Padma berisi naga di atasnya, pelinggih sapia petala
5.    Padma rong dua, palinggih Bhatara di Gunung Kembar
       (Bukit Bisbis).
6.    Gedong rong dua, palinggih kamimitan Empu Pascika
7.    Gedong, Pasimpangan Bhatara di Lempuyang Luhur
8.    Gedong, pasimpangan Bhatara di Pura Dasar Gelgel
9.    Gedong, pasimpangan Bhatara di Besakih
10.  Gedong, penyawangan ke Pura Lempuyang Madya
11. Gedong – betel, palinggih Bhatara Manik Angkcran
12.  Padmasana
13.  Meru beratap tingkat tiga, palinggih Bhatara Empu Kuturan l4.Meru beratap tingkat dua, palinggih Ratu Pasek
15.  Gedong pasimpangan Bhatara di Andakasa
16.  Gedong Manjangan sluang, palinggih Bhatara Majapahit
17.   Gedong Palinggih Bhatara Mahadewa
            Palinggih-palinggih itu sebagian besar dibuat dari batu padas dan bata. Hanya bale pengaruman, Meru palinggih Bhatara Empu Kuturan dan meru palinggih Ratu Pasek atapnya dibuat dari ijuk.
Pura Tanjung Sari
            Pura Tanjung Sari terletak di ujung selatan kaki Gunung Luhur yang menjorok ke laut. Jaraknya dengan Pura Silayukti sekitar 100 meter. Apabila Pura Silayukti menghadap ke selatan, maka Pura Tanjung Sari menghadap ke barat. Menurut keterangan pemangku Pura Silayukti, I Made Oka, Pura Tanjung Sari merupakan tempat suci untuk memuja Empu Beradah, adik Empu Kuturan. Ketika Empu Beradah datang ke Silayukti menemui Empu Kuturan, Empu Beradah beristirahat di ujung selatan kaki Gunung Luhur itu. Di tempat peristirahatan itulah, didirikan Pura Tanjung Sari.
            Pura itu terdiri dari sebuah halaman dengan panjang 23,5 meter dan lebar 17,50 meter. Dikelilingi tembok dan pintu gerbangnya berbentuk candi bentar.
            Di halaman terdapat pelinggih yaitu:
1.    Pelinggih Sapta Patala
2.    Kang-Tsu, pemujaan orang Cina yang tinggal di sekitar Padangbai.
3.    Gedung beratap tingkat tiga, pelinggih Bhatara Empu Beradah.
4.    Gedong beratap tingkat dua, palinggih Jero Sedahan.
5.    Padmasana
6.    Gedong palinggih Bhatara di Besakih.
7.    Gedong Penyawangan ke Pura Lempuyang Madya
8.    Gedong, pelinggih Bhatara Majapahit
9.    Palinggih Pesamuhan
10.       Bale Piasan
11.       Bale Gong
            Hanya palinggih Empu Beradah memakai atap ijuk, yang lainnya semua dibuat dari batu padas dan bata. Bale piasan dan bale gong atapnya dari genteng. Suatu keanehan, di pura itu ada palinggih Kong-Tsu berbentuk gedong. Sejarahnya, konon ketika Empu Beradah beristirahat di sana, ada orang Cina menghadap Empu. Orang Cina itulah yang dibuatkan palinggih sebagai pengiring Empu Beradah.
Pura Telaga Mas
            Pura ini merupakan suatu altar dan di atas altar itu terdapat dua pelinggih yaitu sebuah gedong dan sebuah bebaturan. Letaknya di sebelah utara Pura Silayukti sekitar 20 meter jaraknya. Pura ini tidak dikelilingi tembok. Di sana tidak terdapat kolam air, walaupun namanya Pura Telaga Mas. Konon letak pura itu dahulu adalah bekas taman tempat permandian Empu Kuturan. Kedua bangunan palinggih yang ada di pura itu dibuat dari semen.
Piodalan dan Status Pura
            Upacara Piodalan di Pura Silayukti diselenggarakan 6 bulan sekali pada hari Buda, Kliwon Pahang termasuk pula Pura Telaga Mas. Tetapi untuk PuraTanjung Sari piodalannya pada hari Buda, Kliwon, Matal. Penyelenggara piodalan adalah warga Pasek.
            Bagi Pura Silayukti, tidak ada istilah piodalan alit dan piodalan ageng. Dalam sesajen, tidak boleh memakai daging sapi, sehingga di pura ini tidak boleh dilangsungkan upacara cam yang menggunakan sapi.
            Pura Silayukti disiwi atau disungsung oleh umat Hindu di Bali dan dipandang sebagai pura penyungsungan jagat Bali. Pura Silayukti diemong oleh warga Pasek di Padangbai. Dahulu, sebelum dihapusnya swapraja di Bali pada tahun 1957, Pura Silayukti diemong oleh raja Karangasem. Dengan demikian, segala biaya ditanggung raja Karangasem.
            Setelah swapraja dihapuskan, pura itu diserahkan kepada warga Pasek di Padangbai. Namun Pura Silayukti bukan pura dadya warga Pasek di sana. Dadya Pasek di sana terletak di Desa Ulakan. Menurut cerita, bahwa Bhatara di Pura Silayukti mempunyai ingon-ingon binatang gaib berupa ikan gurita agung dan seekor naga. Adapun Status Pura Silayukti adalah Pura Dang Kahyangan penyungsungan jagat Bali sebagai pelinggih untuk Empu Kuturan.