PURA PULAKI
Pura Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang langsung menghadap ke lauL Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang berbatu yung hanya menghijau saat musim hujan. Pura ini tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di medan yang terjal berbatu-batu. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Ratusan kera yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan nakal, usil, juga menciptakan daya tarik tersendiri.
Terletak di Desa Bunyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja, pura iiy terletak di pinggir jalan rayajurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu biasanya suka singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat.
Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijeiaskan secara rinci. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali UtaraDrs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang umum berlaku di Nusantara — sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang — maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah, Hal ini merunut pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah. Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak. Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. "Seperti Pura-pura di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain. Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnyaberkaitan dengan sarana pemujaan masyarakut prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejakberabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramui dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti, dengan ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang dvsusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya,
Menurut Simba, Pura Pulaki dmpesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala atau 7 lapisan alam semesta,
Pulaki dan Sumsum Tulang Itik
Sebenarnya sejarah Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali. Menurut Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng terletak di antara gunung dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut sangat dekat maka datarannya yang dimiiiki sangat sempit. Ini disebut wilayah nyegara-gunung* suatu daerah yang cocok dengan kegiatan spiritual seperii misalnya dan tempat pemujaan, baik di gunung maupun di tepi laut.
Ketut Simba menjelaskan, bentuk Pulau Bali itu tak ubahnya seperti seekor itik. Kepala menghadap ke barat berhadapan dengan Jawa, punggung ke utara berhadapan dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke timur menghadap ke Lombok. Sementara leher, tembolok, dada, perut, berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bagian punggung Pulau Bali terbentang sederetan daerah pegunungan dari barat, daerah Desa Cekik hingga ke timur di Lempuyang Karangasem sehingga Bali seolah dibelah menjadi dua. Bali Selatan dan Denbukit. Denbukit juga dibagi dua, di mana bagian barat biasa disebut dauh enjung dan dangin enjung, di mana batasnya adalahenjung sanghyang.
Ekor itik ini punya makna bahwa Bali punya nilai kesucian yang sangat tinggi. Karena itik binatang suci, terbukti jika orang membikin banten (aturan suci), terutama suci gede, maka binatang ini adalah sarana yang sangat menentukan kesucian banten tersebut. Begitu pula pegunungan yang memanjang dari barat ke timur adaiah punggung itik, di mana pada tulang punggung mengandung sumsum dan unsur kehidupan pada dimensi spiritual. "Pada tempat inilah ditemukan garis kundalini," katanya.
Pura-pura yang ditemukan di sepanjang pantai antara lain Pura Bakungan, Pura Teluk Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan, Labuhan Aji, Celuk Agung, Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang, Kerta Negara Mas, Pojok Batu, Pura Pulaki dengan pesanakannya dan pura lainnya. Sedangkan di pegunungan dari barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru, Tamblingan, Puncak Mangu, Bukit Sinunggal, Indrakila, Penulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan Iain-lain.
Nah, Pura Pulaki yang dibangun pada tempat perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk. Maka tata letak, strukturdan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur antara segara dan gunung yang menyatu.
Untuk sekadar tambahan, bahwa dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Danghyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan antara Iain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung usai. Tetapi ternyata, Danghyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama, Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah 8,000 orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggai di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ttgekmting dalam bahasa Bali). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Melanting.
Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewa Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma maka Dewa Melanting itulah yang akan melidunginya.
Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan roh suci Danghyang Nirartha. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonorni. Pura Pulaki disungsung subak-subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat juga termask kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan untuk memohon tegaknya moral etika dan hukum dalam berbisnis. Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaning Jagat. Pura Gunung Gondol terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar