• BALIKU

    BALIKU

    Pulau Bali atau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini sungguh luar biasa pesona keindahannya juga kekayaan budayanya yang masih sangat kental yang melekat pada penduduknya. Tidak heran kalau Pulau Bali sangat terkenal di dunia

    Read More
  • SENI & BUDAYA BALI

    SENI DAN BUDAYA

    Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak amat digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali

    Read More
  • CERITA RAKYAT BALI

    CERITA RAKYAT BALI

    Kumpulan kisah dan legenda masyarakat Bali

    Read More
  • KULINER KHAS BALI

    KULINER KHAS BALI

    Cita rasa dan penampilan masakan Bali sering disebut seeksotis pemandangan pulau dewata itu. Jadi, tak heran jika sejumlah masakan khas Bali pun ikut menjadi ikon pariwisata

    Read More
  • KEUNIKAN BALI

    KEUNIKAN BALI

    Bali memiliki sejuta keunikan, baik bentangan alam maupun budayanya. Salah satu keunikan yang paling kuat adalah corak budayanya yang melekat pada seluruh aspek kehidupan msyarakat Bali

    Read More

Selasa, 06 Maret 2012

PURA LEMPUYANG LUHUR

PURA LEMPUYANG LUHUR

PURA LEMPUYANG LUHUR

         Pura ini terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, tepatnya di Desa Purahayu Kecamatan Abang, Karangasem.
            Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diduga sudah ada pada zaman pra-hindu-Buddha. Semula bangunan sucinya terut dari atu. Dewayang distanakan di sini, yakni Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara. Bagaimana cikal bakal berdirinya Pura Lempuyang ?
            Ada sebuah informasi yang kiranya cukup menarik. Berdasarkan pemotretan dariangkasa luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat trang. Sinar itu paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui pasti dari kawasan mana sinar itu, ttapi diduga dari Gunung Lempuyang.
            Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi. Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul Lempuyang Luhur disebutkan, lempuyang berasal dari kata “lampu” yang artinya sinar dan “hyang” untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lempuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot). Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
            Versi lain menilik kata “lempuyang” sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri. Di Jawa, kata “lempuyang” menunjuk sejenis tanaman yang dipakai bumbu masak. Hal itu juga dikaitkan pada nama banjar di sekitar Lempuyang yakni bernama Bangle dan Gamongan. Bangle dan gamongan merupakan tanaman sejenis yang bias dipakai obat atau bumbu. Versi lain juga menyebut dari kata “empu” atau “emong” yang diartikan menjaga. Bhatara Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai guncangan bencana alam. Ketiga putra-putri itu yakni Bhatara Hyang Putra Jaya berstana di Tohlangkir (Gunung Agung) dengan parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana di Pura Ulun Danu Batur dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang.
            Namun, apapun versi dari kata “lempuyang” itu, yang jelas Pura Lempuyang sendiri memiliki status penting, sama seperti Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pada atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang.
            Sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon hidup. Dibagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya (memang itu nama pohon) besar yang kini sudah tak ada lagi. Diduga pohon itu tumbang atau mati pelan-pelan tanpa ada generasi baru yang menggantikannya. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar, dan sebuah padma tunggal bale piyasan.
            Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku di pura itu mengatakan, orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.
            Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lmapuyang Luhur disebutan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut :
Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa”.
            Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.
            Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku purausai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bamboo itu dipundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. “Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya”, ujar Jero Mangku.
Langgar Pantangan, Bisa “Sengkala”
            Adasejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Saat naik ke Lempuyang Luhur, sejak awal, pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkatakasar saat prjalanan.
            Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusui, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura stempat. Konon,pernah adarombongan orang sembahyang dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dulu.Mobil rombongan itupun jatuh terperosok karena tak bias naik ditanjakan. Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawaperhiasan emas. Soalnya, perhiasan itu bias hilang misterius. Membawa atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan, karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang, hamper sama dengan ke Pura Luhur Batukaru.
Empat Jalur
            Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur. Misalnya bias lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bias melewati Pura Penyimpenan, Penatarang Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur.
            Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawag dan Pura Pasar Agung. Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung (panyawangan) terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur.
Potongan Gunung Mahameru
            Menurut sumber, Pura Lempuyang Luhur dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan pada abad ke-11 Masehi saat Mpu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah Bali bersama permaisurinya. Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dinyatakan, Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Balidari Jambhudwipa (India), dari Gunung Mahameru. Potongan Gunung Mahameru itu dibawa ke Bali  dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Gunung Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahnya yang lebih kecil menjadi leretangunung-gunung diBali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung tersebut antara lain Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru, Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andhakasa, Uluwatu, Sraya dan Gunung Lempuhyang. Dalam bahasa Jawa Kuno Lempuhyang artinya gamongan. Di bawahnya leretan gunung-gunung yang mengelilingi Pulau Bali ini oleh Sang Hyang Parameswara sebagai stana paradewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali.
            Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul itu juga dinyatakan bahwa Sang Parameswara menugaskan putranya Sang Hyang Agnijayasakti turun ke Bali dan menjaga kesejahteraan Bali dan berstana di Gunung Lempuhyang atau Gunung Gamorangan bersama dengan dewa-dewa lainnya.
            Dalam prasasti Sading C tahun 1072 Saka, dinyatakan bahwa Gunung Lempuhyang inilah Raja Jayasakti bersemadi, karena itulah gunung itu juga bernama Karangsemadi. Raja Jayasakti diperintahkan oleh ayah beliau Sang Hyang Guru untuk turun ke Bali membangun pura agar menjadi daerah yang aman dan sejahtera. Raja Jayasaksi mengajak para pandita dan para pembantunya serta rakyat untuk mewujudkan perintah Sang Hyang Guru membangun Bali dengna diawali pemangunan pura di Gunung Lempuhyang sebagai stana pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Iswara. Sebelumnya Raja Jayasakti melakukan melalukan semadi sebagai langkah awal membangun kehidupan yang aman sejahtera di Bali.
Konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.
Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan. Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di sejumlah pura seperti gedong dan meru serta arsitektur Bali. Begitu juga dengan berbagai jenis upacara-upakara dan pedagingan pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan prikehidupan yang sangat prinsip seperti aturan-aturan ketertiban hidup bermasyarakat yang diwarisi sampai saat ini dalam bentuk Desa Pakraman.
            Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Maseru), seorang raja yang sangat jaya pada masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa.
            Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah. Perjalanannya terhenti. Sang pendeta masuk ke tengah goa, melihat-lihat kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu membangun padmasana yang notebena tempat bersthana para dewa.
Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan
Waringin atas petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih. Informasi itu menunjukkan bahwa Goa Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.
            Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Basukih yang merupakan nagaraja,memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut.
            Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga tempat masing-masing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih tembus Goa Lawah.
            Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainnya, seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan pura, sekarang telah menyatu sinar tersebut diam di depan sulinggih kemudian dibawa ke pura. Setelah di pura sinar tersebut berubah menjadi senjata berbentuk pasepan.
Memuja Dewa Laut
            Menurut sejumlah sumber, Pura Goa Lawah merupakan pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung inilah sebagai pusat Pura Segara di Bali untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menjadi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah. Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup.                                                        /
            Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar sepertiLontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif  Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi. Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama Babading Dharma Wawu Anyeneng yang isinya menyatakan tentang pembangunan beberapa pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia.
Upacara ini berfungsi sebagai permakluman secara ritual-sakral bahwa atman keluarga yang diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya dilakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.
            Pura Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan unsur purusa dengan predana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit dengan predana sebagai unsur rneteri menyebabkan terjadinya penciptaan. Demikiankah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai simbol pradana. Hal ini untuk melukiskan proses alam di mana air laut menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukm Tuhan. Karena itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan dirikan Pura Goa Lawah dan di Gunung Agung dirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia.
            Di jeroan Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari sebagai Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar